Minggu, 06 Desember 2015

Kebijakan Regulasi Industri Perikanan Tangkap (Open Access/Free Entry dan Licensed Access/Limited Entry) Tulisan ini mengacu pada Kasus Perikanan Tangkap tahun 2005 ( Masih Relevan dengan kasus Perikanan Tangkap diera Menteri Susi)

 


BAB I.  PENDAHULUAN

1.1    Latar belakang

Indonesia mempunyai wilayah perairan sebesar 5,8 juta km2, yang terdiri dari 0,3 juta km2 laut territorial, 2,8 juta km2 perairan nusantara dan 2,7 km² zona ekonomi ekslusif. Sekitar 70% wilayah Indonesia berupa laut dengan jumlah pulau lebih dari 17.480 dan garis pantai sepanjang 95.181km. Oleh karena itu sumberdaya pantai dan laut yang dimiliki Indonesia sangat besar baik yang non hayati seperti bahan tambang dan energi maupun hayati terutama ikan. Potensi sumberdaya ikan laut diiperkirakan sebesar 6,26 juta ton/tahun yang terdiri dari potensi wilayah perairan Indonesia sekitar 4,40 juta ton/tahun dan wilayah ZEEI sekitar 1,86 juta ton/tahun2. Hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001, potensi SDI di perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton pertahun, dengan rincian 5,14 juta ton pertahun berasal dari perairan territorial dan 1,26 juta ton pertahun berasal dari ZEEI. Mengingat besarnya sumberdaya yang ada maka pantai dan laut dapat dijadikan sumber pangan dan bahan baku industri.

1.2    Regulasi Sektor Perikanan Tangkap
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengeluarkan empat paket kebijakan yakni: Pertama, membebaskan kapal perikanan di bawah 60 GT dari biaya pungutan hasil perikanan dengan konsekuensi Pemerintah kehilangan penerimaan negara bukan pajak Rp 5,8 miliar.
Kedua, guna menghemat pemakaian BBM. Pemerintah mengizinkan beroperasinya kapal ikan secara berkelompok dalam satu manajemen usaha atau koperasi. Pola itu harus didukung kapal khusus pengangkut hasil tangkapan ikan dan penyuplai BBM di laut.
Ketiga, untuk meningkatkan pruduktivitas hasil tangkapan, DKP memberikan izin lokasi penangkapan (fishing ground) dari yang semula satu daerah menjadi dua daerah penangkapan dan juga memberikan tambahan pelabuhan pendaratan dari maksimal tiga unit menjadi paling banyak lima unit.
Keempat, pendelegasian proses perizinan di tingkat provinsi untuk penerbitan Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Paket kebijakan tersebut mulai diberlakukan tanggal 1 November 2005.
a. Analisis  Kebijakan
Pertama, kebijakan ini kurang kondusif karena yang paling terombang-ambing akibat kenaikan BBM ini adalah nelayan menengah (10 - 30 GT) karena harga ikan tidak naik. Kapal  di atas 60 GT sekalipun  akan tetap sulit beroperasi karena komponen biaya produksi yang relatif tinggi sehingga keuntungan dari hasil tangkapan otomatis mengalami penurunan atau malahan merugi. Dengan demikian subsidi tetap diperlukan pada sektor yang komponen BBM sangat dominan serta banyak menyerap tenaga kerja dan penyedia protein bagi segenap lapisan masyarakat.  Kapal ukuran menengah 10 – 30 GT tidak melaut bukan hanya akibat kenaikan BBM lebih dari 100 %. Melainkan kenaikan biaya operasional yang lain seperti bahan kebutuhan pokok selama melaut yang mencapai 20-30% dan penyedian es balok
Sementara nasib nelayan tradisional, nelayan kecil dan buruh perikanan yang beroperasi di daerah-daerah terpencil (pulau-pulau kecil maupun daerah perbatasan), perlu juga mendapat perhatian. Selain karena memang dari dulunya mereka miskin, juga mereka dipastikan akan semakin sengsara akibat tingginya harga BBM yang kerapkali harganya jauh dari harga yang ditetapkan pemerintah.
Kedua, kebijakan pendelegasian perizinan di level provinsi yang semula dikeluarkan pemerintah pusat juga akan berpotensi menimbulkan masalah baru. Kebijakan ini berpotensi akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu di daerah untuk mendapatkan keuntungan sesaat, umpamanya melalui percaloan atau jual beli perizinan sehingga diperlukan pengawasan yang sangat ketat. Akibatnya kebijakan ini hanya akan menambah beban nelayan di daerah.
Ketiga, kebijakan ini belum menyentuh problem industri pengolahan perikanan seperti pengalengan dan pembekuan.Sebelum kenaikan BBM pun industri perikanan nasional banyak yang collaps akibat kekurangan bahan baku. Usaha perikanan nasional hanya mampu menyuplai bahan baku industri nasional sebesar 30 persen, sedangkan 70 persen diperoleh dari impor.
Kenaikan harga BBM ini dipastikan berdampak pada kalangan pengusaha pengolahan perikanan  untuk melakukan impor bahan baku dari berbagai negara seperti Cina. Dengan demikian empat paket kebijakan insentif DKP perlu dilakukan berbagai langkah penyempurnaan berdasarkan masukan dari para stakeholder guna memperbaiki kondisi perikanan yang sedang dirundung duka.

1.3       Open Access (Free enty) dan Licenced Access(Limited Enty)
            Rejim open acces diperkenalkan oleh Grotius tahun 1609 dengan tema adagiumnya “the Freedoom of the Sea”.  Rejim open access ialah suatu rejim pemanfaatan sumberdaya laut dimana hampir tidak ada batasan untuk melakukan akses terhadap sumberdaya perikanan di laut. Dalam konteks hukum laut, adagium ini merupakan awal dari perdebatan konsep pengelolaan laut antara penganut mazhab laut terbuka/bebas (mare liberum) yang dipelopori oleh Grotius dan mazhab laut tertutup (mare clausum) yang di antaranya diiniasi oleh sekelompok pemikir Inggris seperti Welwood dan Selden.
            Menurut Charles (2001), paling tidak ada dua makna dalam rejim open access ini, yaitu : pertama, bahwa sumberdaya perikanan yang tidak tak terbatas ini dapat diakses oleh hampir semua kapal yang tanpa batas (laissez-faire) yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Kedua : adalah tidak adanya kontrol terhadap akses kapal namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor dari overkapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahaman rush for the fish; siapa yang kuat dia yang menang.

1.2 Permasalahan
            Indonesia, melalui penataan hukum yang menyangkut kegiatan perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, memang menyebut adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan. Namun demikian, pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kapal sehingga yang terjadi adalah quasi open access atau open access dalam makna kedua menurut Charles (2001) seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu, lemahnya penegakan hukum di laut menjadi kontributor utama dari belum berhasilnya rejim tata kelola (governance) perikanan kita. Dalam konteks ini revitalisasi tata kelola (governance revitalization) menjadi salah satu prasyarat utama sebagai bagian dari sebuah konsepsi negara kelautan terbesar (ocean state) di dunia.

1.3      Solusi Permasalahan
            Salah satu titik awal dari revitalisasi tata kelola perikanan adalah secara gradual mengubah rejim quasi open acces menjadi limited entry atau paling tidak controlled-open acces.  Rejim ini menitikberatkan pada pengelolaan sumberdaya perikanan baik dari sisi input maupun output melalui mekanisme pengaturan use rights. Tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi prasyarat dari penerapan rejim ini karena menyangkut mekanisme pemberian ijin yang adil, transparan dan efisien. Charles (2001) memperingatkan bahwa rejim pengelolaan limited entry tidak dapat digunakan secara sendirian, namun harus dilakukan dalam skema management portofolio dimana melibatkan tool lain seperti quantitative allocation of inputs atau allowable catches yang dipayungi oleh sebuah kerangka peraturan (legal endorsment) yang sesuai. Konsepsi limited entry ini akan semakin bermanfaat dalam konteks perikanan budidaya. Tidak jarang kegiatan budidaya yang sudah established harus kolaps karena tidak adanya kepastian hukum, ekonomi dan politik terhadap unsur spasialnya. Konsepsi limited entry ini dapat pula menjadi titik awal bagi pemberian hak yang jelas kepada nelayan perikanan pantai untuk melakukan aktifitasnya melalui mekanisme fishing right. Dalam konteks ini, pemberian hak penangkapan ikan (fishing right) harus mempertimbangkan ”kepada siapa hak tersebut diberikan”. Oleh karena itu, definisi nelayan perlu pula direvitalisasi sehingga menghasilkan nelayan yang profesional bukan sekedar free raiders yang menjadi ciri utama pelaku perikanan dalam rejim open access. ”Fit and proper test” terhadap nelayan tidak berorientasi hanya kepada pertimbangan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah pertimbangan komunitas sehingga menjamin keberlanjutan perikanan dari sisi komunitas seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

1.4   Harapan ke Depan : Optimalisasi Distant Waters Fishing
            Salah satu peluang pengembangan perikanan yang dapat dijadikan benchmark bagi revitalisasi perikanan nasional adalah pengembangan armada Distant Waters Fishing (DWF). Hal ini sejalan dengan kecenderungan kebijakan perikanan global khususnya tentang regional fisheries management organization yang mencakup perairan trans-nasional untuk komoditas perikanan yang ekonomis penting dan bersifat trans-boundary seperti tuna dan cakalang. Dengan menjadi anggota RFMO maka secara otomatis hak penangkapan ikan akan diperoleh yang artinya membuka peluang bagi pengembangan DWF.  Strategi yang dapat dilakukan adalah mendorong industri perikanan besar untuk terlibat aktif dalam kebijakan DWF, dan membiarkan perikanan rakyat mendominasi perikanan domestik. Strategi ini diperlukan agar optimasi kapasitas perikanan nasional dapat dicapai tanpa harus memberikan biaya korbanan (oppportunity costs) yang besar kepada persoalan konflik ruang dan sumberdaya. 

Salam

MT