Kamis, 29 Januari 2009

Kajian Keramahan Lingkungan Alat Tangkap Menurut Klasifikasi Statistik Internasional Standar FAO















(Analysis Environmental Friendly for International Standard Statistical Classification on Fishing Gears /ISSCFG )


Oleh :

MUSLIM TADJUDDAH
KHAIRUL AMRI
RATNA KOMALA




PENDAHULUAN

Dalam rangka mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan (sustainable fisheries cupture) sesuai dengan ketentuan pelaksanaan perikanan yang bertanggung jawab (FAO Code of conduct for Responsible Fisheries/CCRF) maka eksploitasi sumberdaya hayati laut harus dapat dilakukan secara bertanggung jawab (Responsible fisheries).
Data dari SOFIA (The State of World Fisheries and Aquaculture) menyatakan bahwa 5 % dari perikanan dunia dalam status deplesi atau penurunan produksi secara terus menerus, 16 % terlah dieksploitasi secara berlebihan dan melampaui batas optimim produksi, 52 % telah penuh eksploitasi, 23 % pada tahap moderat yang artinya produksinya masih dapat ditingkatkan meskipun dalam jumlah yang kecil, 3 % sumberdaya ikan masih dibawah tingkat eksploitasi optimumnya dan hanya 1 % yang dalam proses pemulihan melalui program-program konservasi.
Berdasarkan tersebut di atas, untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan perlu dikaji penggunaan alat-alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan dari segi pengoperasian alat penangkapan ikan, daerah penangkapan dan lain sebagainya sesuai dengan tata laksana untuk perikanan yang bertanggungjawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Kedepan, trend pengembangan teknologi penangkapan ikan ditekankan pada teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (environmental friendly fishing tecnology) dengan harapan dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampat negatif terhadap lingkungan, yaitu sejauh mana alat tangkap tersebut tidak merusak dasar perairan, tidak berdampak negatif terhadap biodiversity, target resources dan non target resources
Di Indonesia saat ini dikenal 3 (tiga) klasifikasi alat penangkapan ikan. yang pertama : menurut klasifikasi A. Von Brandt, (1964), Kedua : klasifikasi statistik internasional alat tangkap standar FAO, yang ketiga : klasifikasi standar alat tangkap berdasarkan statistik perikanan Indonesia (Anonim, 2007).
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji keramahan alat tangkap menurut klasifikasi statistik internasional standar FAO. adapun alat analisis yang digunakan menurut FAO (1995) sesuai dengan standar Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yaitu terdapat 9 (sembilan ) kriteria suatu alat tangkap dikatakan ramah terhadap lingkungan, antara lain :

1.Mempunyai selektifitas yang tinggi
2.Tidak merusak habitat
3.Menghasilkan ikan yang berkualitas tinggi
4.Tidak membahayakan nelayan
5.Produksi tidak membahayakan konsumen
6.By-catch rendah
7.Dampak ke biodiversty rendah
8.Tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi

9.Dapat diterima secara sosial



KRITERIA ALAT TANGKAP IKAN YANG RAMAH LINGKUNGAN

Di Indonesia saat ini, telah banyak dikembangkan metode penangkapan yang tidak merusak lingkungan (Anonim. 2006). Selain karena tuntutan dan kecaman dunia internasional yang akan memboikot ekspor dari negara yang sistem penangkapan ikannya masih merusak lingkungan, pemerintah juga telah berupaya untuk melaksanakan tata cara perikanan yang bertanggung jawab.
Food Agriculture Organization (FAO, sebuah lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani masalah pangan dan pertanian dunia), pada tahun 1995 mengeluarkan suatu tata cara bagi kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Resposible Fisheries- CCRF). Dalam CCRF ini, FAO menetapkan serangkaian kriteria bagi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Sembilan kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
Alat tangkap harus memiliki selektivitas yang tinggi.
Artinya, alat tangkap tersebut diupayakan hanya dapat menangkap ikan/organisme lain yang menjadi sasaran penangkapan saja. Ada dua macam selektivitas yang menjadi sub kriteria, yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas jenis. Sub kriteria ini terdiri dari (yang paling rendah hingga yang paling tinggi):
- Alat menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
- Alat menangkap tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
- Alat menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang kurang lebih sama.
- Alat menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang kurang lebih sama.
Alat tangkap yang digunakan tidak merusak habitat, tempat tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme lainnya.
Ada pembobotan yang digunakan dalam kriteria ini yang ditetapkan berdasarkan luas dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan alat penangkapan. Pembobotan tersebut adalah sebagai berikut (dari yang rendah hingga yang tinggi):
- Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas
- Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit
- Menyebabkan sebagian habiat pada wilayah yang sempit
- Aman bagi habitat (tidak merusak habitat)

Tidak membahayakan nelayan (penangkap ikan).
Keselamatan manusia menjadi syarat penangkapan ikan, karena bagaimana pun, manusia merupakan bagian yang penting bagi keberlangsungan perikanan yang produktif. Pembobotan resiko diterapkan berdasarkan pada tingkat bahaya dan dampak yang mungkin dialami oleh nelayan, yaitu (dari rendah hingga tinggi):
- Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat kematian pada nelayan
- Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat menetap (permanen) pada nelayan
- Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat gangguan kesehatan yang sifatnya sementara
- Alat tangkap aman bagi nelayan
Menghasilkan ikan yang bermutu baik.
Jumlah ikan yang banyak tidak berarti bila ikan-ikan tersebut dalam kondisi buruk. Dalam menentukan tingkat kualitas ikan digunakan kondisi hasil tangkapan secara morfologis (bentuknya). Pembobotan (dari rendah hingga tinggi) adalah sebagai berikut:
- Ikan mati dan busuk
- Ikan mati, segar, dan cacat fisik
- Ikan mati dan segar
- Ikan hidup
Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen.
Ikan yang ditangkap dengan peledakan bom pupuk kimia atau racun sianida kemungkinan tercemar oleh racun. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya yang mungkin dialami konsumen yang harus menjadi pertimbangan adalah (dari rendah hingga tinggi):
- Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen
- Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen
- Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen
- Aman bagi konsumen
Hasil tangkapan yang terbuang minimum.
Alat tangkap yang tidak selektif (lihat butir 1), dapat menangkap ikan/organisme yang bukan sasaran penangkapan (non-target). Dengan alat yang tidak selektif, hasil tangkapan yang terbuang akan meningkat, karena banyaknya jenis non-target yang turut tertangkap. Hasil tangkapan non target, ada yang bisa dimanfaatkan dan ada yang tidak. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi):
- Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis (spesies) yang tidak laku dijual di pasar
- Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis dan ada yang laku dijual di pasar
- Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan laku dijual di pasar
- Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan berharga tinggi di pasar.
Alat tangkap yang digunakan harus memberikan dampak minimum terhadap keanekaan sumberdaya hayati (biodiversity).
Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasasrkan pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi):
- Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian semua mahluk hidup dan merusak habitat.
- Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat
- Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat
- Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati
Tidak menangkap jenis yang dilindungi undang-undang atau terancam punah.
Tingkat bahaya alat tangkap terhadap spesies yang dilindungi undangundang ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa:
- Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat
- Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap alat
- Ikan yang dilindungi .pernah. tertangkap
- Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap
Diterima secara sosial.
Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap, akan sangat tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di suatu tempat. Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat bila: (1) biaya investasi murah, (2) menguntungkan secara ekonomi, (3) tidak bertentangan dengan budaya setempat, (4) tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Pembobotan Kriteria ditetapkan dengan menilai kenyataan di lapangan bahwa (dari yang rendah hingga yang tinggi):
- Alat tangkap memenuhi satu dari empat butir persyaratan di atas
- Alat tangkap memenuhi dua dari empat butir persyaratan di atas
- Alat tangkap memenuhi tiga dari empat butir persyaratan di atas
- Alat tangkap memenuhi semua persyaratan di atas

Bila ke sembilan kriteria ini dilaksanakan secara konsisten oleh semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan, maka dapat dikatakan ikan dan produk perikanan akan tersedia untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal yang penting untuk diingat bahwa generasi saat ini memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan ketersediaan sumberdaya ikan bagi generasi yang akan datang dengan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkesinambungan dan lestari. Perilaku yang bertanggung jawab ini dapat memelihara, minimal mempertahankan stok sumberdaya yang ada kemudian akan memberikan sumbangan yang penting bagi ketahanan pangan (food security), dan peluang pendapatan yang berkelanjutan.



Jenis-jenis Alat Tangkap Ikan Menurut Klasifikasi FAO

1. Surrounding net (Jaring Lingkar)
Jaring lingkar merupakan alat penangkapan ikan yang mempunyai prinsip penangkapan dengan cara melingkari gerombolan ikan sasaran tangkap menggunakan jaring yang dioperasikan dengan perahu atau kapal serta didukung sarana alat bantu penangkapan sesuai untuk mendukung efektivitas dan efisiensi pengoperasiannya. Desian dan konstruksi jaring ingkar berkembang disesuaikan dengan target ikan tangkapan yang dikehendaki, sehingga terdapat bergagai bentuk dan ukuran jaring lingkar serta sarana apung maupun alat bantu penangkapan yang digunakan.
Alat ini ditujukan sebagai penangkap ikan pelagis yang bergerombol di permukaan. Pada umumnya, alat ini berbentuk empat persegi panjang dilengkapi yang dilewatkan melalui cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah. Dengan menarik tali kerucut bagian bawah ini, jaring dapat dikuncupkan (lihat gambar) dan jaring akan membentuk semacam “mangkuk”.
Menurut International Standard Statistical Classificarion on Fishing Gear (ISSCFG) yang dikeluarkan oleh FAO (Nedelec and Prado 1990), kelompok alat tangkap jaring lingkar terdiri dari :
- With purse lines (Purse seines)
b. One boat operated purse seines
c. Two boats operated purse seines
- Without purse lines (lampara)














Purse seine (Sumber: Subani dan Barus 1989)


2. Seine net (Pukat)
Seine nets atau pukat atau pukat tarik merupakan alat penangkapan ikan berkantong tanpa alat pembuka mulut jaring. Pengoperasiannya dengan cara melingkari gerombolan ikan dan menariknya ke kapal yang sedang berhenti/berlabuh jangkar atau ke darat/pantai melalui kedua bagian sayap tali selambar.
Desain dan konstruksi pukat tarik disesuaikan dengan terget ikan tangkapan yang dikehendaki, sehingga terdapat berbagai bentuk dan ukuran pukat tarik serta sarana apung maupun alat bantu penangkapan ikan yang digunakan.
Menurut International Standard Statistical Classificarion on Fishing Gear (ISSCFG) yang dikeluarkan oleh FAO (Nedelec and Prado 1990), kelompok alat tangkap pukat tarik terdiri dari :
- Beach seines
- Boat or vessel seines
a. Danish seines
b. Scottish seines
c. Pair seines
- Seine nets (not specified)

Pukat (Sumber: Subani dan Barus 1989)




3. Trawl
Secara teknis, baik menurut umum ataupun mengikuti standar ISSCFG (International Standard Statistical Classification Fishing Gear), FAO (Nedelec and Prado 1990) "Trawl” adalah alat penangkap ikan yang mempunyai target spesies baik untuk menangkap ikan maupun untuk udang. Trawl memiliki kreteria yaitu (a) jaring berbentuk kantong (pukat) baik yang berasal dari karakteristik asli maupun hasil modifikasi. (b) miliki kelengkapan jaring (pukat) untuk alat pembuka mulut jaring baik palang/gawang (beam) atau sepasang papan rentang (otter board) dengan cara operasi dihela atau diseret (towing) oleh sebuah kapal (c) Tanpa memiliki kelengkapan jaring (pukat) dengan cara operasi dihela oleh dua buah kapal.
Trawl asli adalah jaring (pukat) trawl yang dirancang bukan dari hasil modifikasi tidak ada perubahan dari aspek desain - konstruksi, karakteristik dan metoda pengoperasian dengan ciri-ciri yaitu (a) karakteristik bentuk konstruksi masih sesuai ketentuan teknis jaring yang lazim (b) banyak menggunakan potongan miring (cutting rate) pada bagian­ jaring (c) miliki bagian jaring berupa medan jaring atas (square) bagi trawl dasar (bottom trawl) atau medan jaring bawah (bosoom trawl) pertengahan permukaan (mid water trawl) (d) cara operasi dirancang dengan dihela / diseret oleh sebuah atau dua buah kapal.











Trawl hasil modifikasi adalah alat tangkap yang masuk kategori trawl, karena adanya perubahan desain konstruksi , karakteristik jaring dan metode operasi penangkapan dengan ciri-ciri (c) ada perubahan bentuk dan ukuran dari jaring aslinya , terutama pemendekan ukuran sayap (b) teknik pemotongan bagian jaring masih menggunakan potongan lurus (all point dan all mesh), (c) kebanykan belum menambah bagian medan jaring (square) masih tetap seperti kondisi aslinya (d) ada penambahan kelengkapan janng berfungsi alat pembuka mulut jaring baik berupa palang/gawang (beam) maupun papan rentang (otter board) dad kondisi aslinya. Okda perubahan metode pengoperasian dari cara ditarik dari atas perahu atau pantai menjadi cara dengan diseret / dihela oleh sebuah kapal.
Menurut International Standard Statistical Classificarion on Fishing Gear (ISSCFG) yang dikeluarkan oleh FAO (Nedelec and Prado 1990), kelompok alat tangkap trawl terdiri dari:
- Bottom trawls
a. beam trawls
b. otter trawls
c. pair trawls
d. nephrops trawls
e. shrimp trawls
f. bottom trawls (not specified)
- Midwater trawls
- Otter twin trawls
- Otter trawls (not specified)
- Pair trawls (not specified)
- Other trawls (not specified)

4. Dredge (Penggaruk)
Penggaruk merupakan alat penangkap ikan berbingkai kayu atau besi yang bergerigi atau bergancu di bagian bawahnya, yang dilengkapi atau tanpa jaring/bahan lainnya. Penggaruk dioperasikan dengan cara menggaruk di dasar perairan dengan atau tanpa perahu untuk menangkap kekerangan dan biota lainnya.
Desain dan konstruksi penggaruk disesuaikan dengan target ikan tangkapan yang dikehendaki, sehingga terdapat berbagai bentuk dan ukuran penggaruk serta sarana apung maupun alat bantu penangkapan ikan yang digunakan.
Menurut International Standard Statistical Classificarion on Fishing Gear (ISSCFG) yang dikeluarkan oleh FAO (Nedelec and Prado 1990), kelompok alat tangkap penggaruk terdiri dari : 1 ). Boat Dredges dan; 2). Hand Dredges.
Metode pengoperasian penggaruk dilakukan dengan cara menarik ataupun menghela pengaruk di dasar perairan sehingga hasil tangkapan berupa kekerangan, teripang, dan lainnya bisa terkumpul dan tertangkap serta masuk ke dalam penggaruk.

5. Lift net (Jaring Angkat)
Jaring angkat dioperasikan dengan menurunkan dan mengangkatnya secara vertikal. Jaring ini biasanya dibuat dengan bahan jaring nion yang menyerupai kelambu, karena ukuran mata jaringnya yang kecil (sekitar 0,5 cm). Jaring kelambu kemudian diikatkan pada bingkai bambu atau kayu yang berbentuk bujur sangkar.
Dalam penggunaannya, jaring angkat sering menggunakan lampu atau umpan untuk mengundang ikan. Biasanya dioperasikan dari perahu, rakit, bangunan tetap, atau langsung.
Dari bentuk dan cara penggunaannya, jaring angkat dapat mencakup bagan perahu, bagan tancap (termasuk kelong), dan serok

Jaring Angkat (Sumber: Subani dan Barus. 1989)


6. Falling gear (alat yang dijatuhkan)
Alat yang dijatuhkan atau ditebarkan merupakan alat penangkapan ikan yang pengoperasiannya dilakukan dengan ditebarkan atau dijatuhkan untuk mengurung ikan dengan atau tanpa kapal.
Desain dan konstruksi alat yang dijatuhkan atau ditebarkan disesuaikan dengan target ikan tangkapan yang dihendaki. Berkaitan dengan hal ini maka terdapat berbagai bentuk dan ukuran serta sarana apung maupun alat bantu penangkapan ikan yang digunakan. Menurut International Standard Statistical Classificarion on Fishing Gear (ISSCFG) yang dikeluarkan oleh FAO (Nedelec and Prado 1990), kelompok alat tangkap yang dijatuhkan atau ditebarkan terdiri dari: 1) Cast nets; dan 2); Falling gears (not specified).

7. Gill net, entangling nets (Jaring Insang Dan Jaring Puntal)
Jaring insang (gill net) merupakan alat penangkapan ikan berbentuk empat persegi panjang yang ukuran mata jaringnya merata dan dilengkapi dengan pelampung, pemberat, tali ris atas dan tali ris bawah atau tanpa tali ris bawah.
Jaring insang digunakan untuk menangkap ikan dengan cara menghadang ruaya gerombolan ikan. Ikan-ikan yang tertangkap pada jaring umumnya karena terjerat di bagian belakang penutup insang atau terpuntal oleh mata jaring. Biasanya ikan yang tertangkap dalam jaring ini adalah jenis ikan yang migrasi vertical maupun horizontalnya tidak terlalu aktif.
Ada berbagai jenis jaring insang, yang terdiri dari satu lapis jaring, dua lapis, maupun tiga lapis jaring. Jaring insang memiliki mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh badan jaring. Jaring ini kemudian dibentangkan untuk membentuk semacam dinding yang dapat menjerat. Jaring insang dilengkapi dengan pelampung di bagian atas jaring dan pemberat pada bagian bawahnya.
Menurut International Standard Statistical Classificarion on Fishing Gear (ISSCFG) yang dikeluarkan oleh FAO (Nedelec and Prado 1990), kelompok alat tangkap jaring insang terdiri dari:
- Set gillnets (anchored)
- Driftnets
- Encircling gillnets
- Fixed gillnets (on stakes)
- Trammel nets
- Combined gillnets-trammel nets
- Gillnets and entangling nets (not spicied)
- Gillnets (not specified)

Jaring Insang (Sumber: Subani dan Barus. 1989)

8. Trap (perangkap)
Perangkap merupakan alat penangkapan ikan yang mempunyai prinsip penangkapan dengan cara memperangkap ikan dengan menggunakan jaring dan atau bahan lainnya yang dioperasikan dengan atau tanpa perahu atau kapal.
Desain dan konstruksi perangkap disesuaikan dengan target ikan tangkapan yang dikehendaki, sehingga terdapat berbagai bentuk dan ukuran perangkap.
Menurut International Standard Statistical Classificarion on Fishing Gear (ISSCFG) yang dikeluarkan oleh FAO (Nedelec and Prado 1990), kelompok alat tangkap perangkap terdiri dari:
- Stationary uncovered pounds nets
- Pots
- Fyke nets
- Stow nets
- Barriers, fences, weirs, dll
- Aerial traps
- Traps (not specified)

9. Hook and line (pancing)
Hook and line (pancing) merupakan alat penangkapan ikan yang mempunyai prinsip penangkapan dengan memancing ikan target sehingga terkait dengan mata pancing yang dirangkai dengan tali menggunakan atau tanpa umpan.
Desain dan konstruksi pancing disesuaikan dengan target ikan tangkapan yang dikehendaki, sehingga terdapat berbagai bentuk dan ukuran pancing serta sarana apung maupun alat bantu penangkapan ikan yang digunakan.
Menurut International Standard Statistical Classificarion on Fishing Gear (ISSCFG) yang dikeluarkan oleh FAO (Nedelec and Prado 1990), kelompok alat tangkap hooks and lines ini terdiri dari:
- Handlines and pole-lines (hand operated)
- Handlines and pole-lines (mechanized)
- Set longlines
- Drifting longlines
- Longlines (not specified)
- Trolling lines
- Hook and lines (not specified)

10. Grappling and wounding gear (pengait dan alat yang melukai)
Alat pengait/penjepit dan alat yang melukai merupakan alat penangkapan ikan yang mempunyai prinsip penangkapan dengan cara menerkam, mengait/menjepit, melukai atau membunuh sasaran tangkap yang dilakukan dari atasu kapal atau tanpa menggunakan kapal. Desain dan konstruksi alat penjepit dan melukai mempunyai bentuk runcing/tajam pada salah satu ujungnya.
Menurut International Standard Statistical Classificarion on Fishing Gear (ISSCFG) yang dikeluarkan oleh FAO (Nedelec and Prado 1990), kelompok alat tangkap pengait dan alat yang melukai ini adalah harpoon.

11. Harvesting machine (mesin pemanen)
Yang dimaksud dengan Pump fishing adalah suatu alat tangkap tanpa menggunakan jaring tetapi dengan menggunakan pompa untuk menyedot ikan,udang,cumi-cumi dan krill plankton masuk ke dalam kapal. Alat tangkap ini dioperasikan pada kedalaman 110 meter dengan catchable area 20cm. Efektifnya menangkap cumi-cumi .






Pump fishing (Sumber : Brant, 1984)
12. Alat tangkap lainnya.
Alat-alat lainnya merupakan alat penangkapan ikan yang tidak termasuk ke dalam penggolongan kelompok sebelumnya, dimana prinsip penangkapan tidak dengan cara menjerat, memancing, memerangkap, mencengkram, mengait/menjepit, melukai atau membunuh sasaran tangkap.
Desain dan konstruksi alat tangkap lainnya ini merupakan konstruksi yang bentuknya tidak terdapat pada setiap kelompok sebelumnya. Sehingga dapat digolongkan sebagai kelompok tersendiri dan dimungkinkan akan mengalami perkembangan sesuai dengan modifikasi dan kreatifitas nelayan dalam rangka menciptakan rancang bangun alat penangkap ikan ke depan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan teknologi penangkapan ikan yang ada.
Menurut International Standard Statistical Classificarion on Fishing Gear (ISSCFG) yang dikeluarkan oleh FAO (Nedelec and Prado 1990), kelompok alat tangkap lainnya ini adalah: Miscellaneous Gear. Sebagai informasi, di Indonesia alat tangkap muro ami, serok teri dan alat penangkap lobster termasuk dalam kategori alat tangkap ini.

























Kajian Keramahan Lingkungan Alat Tangkap Menurut Klasifikasi Statistik Internasional Standar FAO


Metode yang digunakan dalam kajian keramahan alat tangkap ikan ini dengan pendekatan destkriptif yaitu menilai dan mengkaji karakteristik dari suatu alat tangkap menurut klasifikasi statistik internasional standar FAO dengan ke-9 (sembilan) kriteria keramahan menurut standart FAO. Disebabkan karena banyaknya jenis alat tangkap dalam suatu klasifikasi, maka untuk memudahkan pengkajiannya penulis membatasi salah satu alat tangkap saja yang disebutkan sebagai dalam contoh yang termasuk dalam klasifikasi alat tangkap tersebut.
Selanjutnya mencatat kriteria yang kurang memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan dan dari kriteria tersebut diberikan solusi untuk meningkatkan keramahannya. Adapun alat tangkap menurut klasifikasi statistik internasional standar FAO :
13. Surrounding net (Jaring Lingkar)
Contoh : Jaring Lingkar/Puse seine
Dari sembilan kriteria yang digunakan dalam mengkaji keramahan alat tangkap surrounding net, dua kriteria yang kurang memenuhi sebagai persyaratan puse seine yang ramah lingkungan. Kedua kriteria tersebut adalah :
Selektifitas. Khusus selektifitas ini diperlukan penelitian lebih lanjut terutama untuk mengetahui berapa spesies yang tertangkap dalam satu kali hauling dan ukuran catch (panjang total dan lingkar tubuh) di fishing ground tertentu. Hal ini disebabkan dapat saja diketahui selektifitas yang berbeda pada fishing ground yang berbeda pula
Biaya investasi yang tinggi dalam satu unit penangkapan
Dari kedua kriteria tersebut dapat diberikan solusi untuk meningkatkan keramahannya, untuk selektifitas diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan kurva selektifitasnya. Biaya investasi yang tinggi dapat diatasi dengan memberdayakan kelompok nelayan,setiap anggota mempunyai saham sesuai dengan jenis dan besarnya kontribusinya.

2. Seine net (Pukat)
Contoh : Pukat pantai/Beach seine
Dari sembilan kriteria yang digunakan dalam mengkaji keramahan alat tangkap pukat pantai, terdapat satu kriteria yang kurang memenuhi sebagai persyaratan puse seine yang ramah lingkungan. Kedua kriteria tersebut adalah :
Selektifitas. Sama halnya dengan puse seine, pukat pantai juga diperlukan penelitian lebih lanjut dalam hal selektifitasnya ukuran catch (panjang total dan lingkar tubuh) pada suatu fishing ground tertentu.
Dari kriteria tersebut solusi yang dapat diberikan untuk meningkatkan keramahannya, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan kurva selektifitasnya.

3. Trawl
Contoh : Pukat dasar/bottom trawl
Pada alat tangkap trawl ini saat dioperasikan sesuai dengan habitat pengoperasiannya yaitu didaerah pasir atau lumpur maka, kriteria yang kurang memenuhi persyaratan sebagai botttom trawl yang ramah lingkungan, adalah :
1. Selektifitasnya rendah, hal ini disebabkan dapat menangkap ikan juvenil sampai yang dewasa
2. By-catchnya rendah, menangkap tidak saja pada target spesies tetapi juga terkadang banyak menangkap ikan non target spesies
3. Dampak pada biodiversity tinggi, sering juga tertangkap biota yang dilindungi seperti penyu,dll
4. Kadang menimbulkan koflik sosial, terutama dengan nelayan bubu
Dari ketiga kriteria tersebut solusi yang dapat diberikan untuk meningkatkan keramahannya, untuk selektifitas dan by-catch yang rendah diperlukan perbaikan mesh size terutama pada codend. Pada dampak biodiversity diperlukan pemasangan BED (By catch excluder devise) dan TED (Turtle excluder devise) dengan sistem pengawasan yang terpadu. Sedangkan konflik yang terjadi dengan nelayan bubu biasanya masalah pengoperasian alat tangkap yang sama dengan bubu, maka solusi yang dapat diberikan dengan pengaturan fishing ground trawl diluar zona I dan Zona II.

4. Dredge (Penggaruk)
Contoh : Scoop Nets
Pada alat tangkap ini Ke-sembilan kriteria memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan.
5. Lift net (Jaring Angkat)
Contoh : Bagan perahu
Pada alat tangkap bagan perahu ini kriteria yang kurang memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan, adalah :
1. Selektifitasnya rendah, khususnya ikan teri, bagan apung cukup selektif terhadap ikan ini
By-catch tinggi, menangkap tidak saja pada target spesies tetapi juga terkadang banyak menangkap ikan non target spesies
3. Konsumsi BBM
Dari ketiga kriteria tersebut solusi yang dapat diberikan untuk meningkatkan keramahannya, untuk selektifitas dan by-catch yang rendah diperlukan perbaikan mesh size. Untuk konsumsi BBM yang tinggi dianjurkan menggunakan solar cell sebagai alternatif yang perlu dicoba

5. Falling gear (alat yang dijatuhkan)
Contoh : Jala Lempar/Hand cast nets
Pada alat tangkap jala lempar ini apabila dioperasikan di daerah pasir atau lumpur tidak dioperasikan di daerah karang maka, kriteria yang kurang memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan, adalah :
Selektifitasnya rendah, hal ini disebabkan dapat menangkap ikan kecil sampai ikan dewasa yang masuk dalam catchable area alat tangkap ini.
solusi yang dapat diberikan untuk meningkatkan keramahannya ialah diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dan meningkatkan selektifitasnya.

7. Gill net, entangling nets (jaring insang dan jaring puntal)
Contoh : Trammel nets
Pada alat tangkap ini delapan kriteria memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan. Kriteria yang kurang memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan, adalah :
1. By-catch, target spesies alat tangkap ini adalah udang tetapi juga menangkap ikan.seperti misalnya ikan gulamah. Perlu juga diketahui alat tangkap ini direkomendasikan untuk menggantikan pengoperasian trawl karena dapat menangkap udang dengan efektif. Solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keramahannya ialah perbaikan mesh size terutama inner net dari bahan multifilamen.
8. Trap (perangkap)
Contoh : Bubu
Pada alat tangkap bubu kriteria yang kurang memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan, adalah :
Selektifitas, perlu penelitian tentang ukuran panjang total dan ukuran lingkar tubuh ikan yang tertangkap dengan bubu untuk mengetahui selektifitasnya pada setiap fishing ground.
Dapat merusak habitat karang, apabila digunakan batu karang sebagai pemberat
Dari kedua kriteria tersebut solusi yang dapat diberikan untuk meningkatkan keramahannya, untuk selektifitas diperlukan penelitian lebih lanjut tentang hasil tangkapan hubungannya dengan selektifitasnya. Untuk penggunaan batu karang diperlukan modifikasi bahan seperti dengan menggunakan bahan dari besi,kawat dan sebagainya sehingga tidak diperlukan lagi batu karang sebagai pemberat.

9. Hook and line (pancing)
Contoh : Pancing (Hand line)
Dari semua alat tangkap, yang dibahas dalam makalah ini pancing adalah alat tangkap yang paling selektif dan ramah terhadap lingkungan, sangat memenuhi dari Ke-sembilan kriteria persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan

10. Grappling and wounding gear (pengait dan alat yang melukai)
Contoh : Tombak/Harpoon
Pada alat tangkap tombak atau harpoon kriteria yang kurang memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan, adalah :
1. Dapat membahayakan nelayan. Apabila digunakan tidak menggunakan prinsip kehati-hatian maka alat tangkap ini dapat melukai operator(nelayan). Solusi yang dapat diberikan untuk meningkatkan keramahannya ialah dengan menggunakan pendekatan prinsip kehati-hatian dalam pengoperasian alat tangkap tombak.

11. Harvesting machine (mesin pemanen)
Contoh : Pump fishing
Yang dimaksud dengan Pump fishing adalah suatu alat tangkap tanpa menggunakan jaring tetapi dengan menggunakan pompa untuk menyedot ikan,udang,cumi-cumi dan krill plankton masuk ke dalam kapal. Kriteria yang kurang memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan, adalah :
Selektifitasnya rendah
Menghasilkan ikan dengan kualitas yang rendah
By-catch tinggi
Solusi yang dapat diberikan untuk meningkatkan keramahannya ialah untuk selektifitas dan dan by-catch yang rendah agar menggunakan alat bantu penangkapan seperti cahaya kemudian dalam catchable area yang remang-remang(cahaya redup) alat tangkap di tawing ke perairan sehingga cumi-cumi saja yang mendekat dan tertangkap(untuk metode ini perlu penelitian lebih lanjut)sedangkan untuk ikan yang berkualitas rendah sebaiknya alat tangkap ini menangkap cumi-cumi dan krill plankton saja agar untuk menghindari penurunan kualitas hasil tangkapan
12 Alat tangkap lainnya.
Contoh : Tangan , pisau dan sabit
Alat ini digunakan untuk mengumpulkan rumput laut dan kerang-kerangan.
Paling selektif dan ramah terhadap lingkungan, sangat memenuhi Ke-sembilan kriteria persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan

















KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Dari makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

- Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang selektifitas pada alat tangkap Jaring Lingkar, Pukat Pantai, Jala Lempar dan Bubu.

Saran
Pada masa yang akan datang seyogya seluruh alat tangkap yang operasional di perairan telah memiliki kriteria keramahannya terhadap lingkungan untuk mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggung jawab (Sustainable Fisheries Cupture) sesuai dengan Code of conduct for Responsible Fisheries (CCRF)






















DAFTAR BACAAN

Anonim. 2007. Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan Indonesia. Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Anonim. 2006. Panduan Jenis-Jenis Penangkapan Ikan. Ramah Lingkungan. COREMAP II. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jakarta.

Brant A Vont,1984. Fish Catch Methods of the World, Fishing News Book Ltd England

Baskoro,S.B,2002. Metode Penangkapan Ikan. Diktat Kuliah (tidak dipublikasikan)
Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan IPB, Bogor.

Nedelec, C. and J. Prado. 1990. Definition and Clasification of Fishing Gears Categories. FAO FISEHRIES TECHNICAL PAPER 222 Rev.1, FAO Fisheries Industries Division, Rome. 92p.

Nomura,M 1985. Fishing Techniques 1,2,3, Kanagawa International Training Center , JICA, Tokyo

Subani, W dan H.R. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang di Indoensia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, BPPL, BPPP, Departemen Pertanian, Jakarta.






Minggu, 25 Januari 2009

Assesing Fishery Productifity (Chapter 3/Fishing Grounds :Book)

Diterjemahkan Oleh :

MUSLIM TADJUDDAH

Menaksir Produktivitas Perikanan

Produktivitas bisa diartikan sebagai hasil yang menguntungkan, tetapi makna produktivitas dari sisi perikanan jauh lebih kompleks, karena memiliki dimensi-dimensi yang berbeda. Produktivitas tidak hanya pada kemampuan populasi ikan menghasilkan ikan, akan tetapi juga kemampuannya untuk memberikan nilai ekonomi dan keuntungan-keuntungan sosial.

MSFCMA menghendaki sektor perikanan dikelola untuk menyediakan keuntungan seluas-luasnya untuk bangsa, khususnya untuk “food production” serta bidang rekreasi (kegiatan pemancingan), dan agar menjaga stok ikan pada level yang dapat menghasilkan hasil yang optimum untuk jangka waktu yang lama. Optimum yield (keuntungan optimum) sebagai hasil yang menciptakan keuntungan yang terbaik, bukan pada bobot ikan yang besar namun hasil optimum dapat terjadi pada tangkapan yang lebih kecil jika biaya penangkapan tinggi, jika pasar menyerap hanya pada jumlah yang kecil, dan jika masyarkat menghargai rendah bobot ikan. Sebelum tahun 1996 amandement MSFCMA, hukum mendefinisikan hasil optimum sebagai hasil maksimum yang berkelanjutan diartikan sebagai modifikasi dari faktor-faktor sosial, ekonomi dan ekologi lebih dari atau kurang dari hasil maksimum yang berkelanjutan. Tahun 1996 amandement menempatkan “as moficated by” (sebagai modifikasi dari) dengan sebagai pengurangan untuk menjamin bahwa produktivitas opt imum tidak bisa di set pada level di atas hasil maksimum yang berkelanjutan

Kelayakan dari menggunakan produksi maksimum berkelanjutan sebagai tujuan pengelolaan perikanan masih diperdebatkan. Yang terpenting sebenarnya adalah bukan menangkap ikan sebanyak-banyaknya akan tetapi sebagai kontributor utama terhadap keuntungan-keuntungan perikanan yang membuat produktivitas perikanan adalah produktivitas tersebut menghasilkan nilai-nilai ekonomi dan sosial. Sebaik faktor biologis, keuntungan dan kerumitan-kerumitan muncul karena 3 tipe keutungan tidak selalu secara bersama-sama saling menguntungkan pada level yang sama. Ingatlah bahwa keuntungan-keuntungan tidak hanya pada produksi dan rekreasi pemancingan, keuntungan selalu berasal dari “menikmati bukan membunuh”. Suatu nilai diekspresikan untuk mendukung kegiatan/program konservasi perikanan.

Apa itu Produktivitas ?

Faktor biologis, ekonomi, dan sosial adalah faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana mendefinisikan dan mengukur produktivitas. Pengukuran produktivitas tidaklah statis tetapi harus terus menerus beradaptasi pada perubahan.

Produktivitas Biologi

The National Marine Fisheries Services Publication Our Living Ocean menampilkan produktivitas biologis dari sumberdaya perikanan dalam tiga konsep :

1. Hasil tahunan terakhir, rata-rata tangkapan dalam periode tiga tahun

2. Hasil potensial saat ini, potensi tangkapan yang berdasarkan kelimpahan stok pada saat itu dan pertimbangan ekosistem

3. Potensi hasil jangka panjang, rata-rata hasil tangkapan maksimum jangka panjang yang serupa pada hasil maksimum yang berkelanjutan.

Perhatian utama dari pengelolaan perikanan tangkap adalah ikan yang dibunuh oleh kegiatan penagkapan meskipun pengelolaan saat ini telah bertambah tanggung jawabnya terhadap perlindungan habitat ikan dari efek kerusaklan akibat penangkapan.

Jika hasil tangkapan saat ini dibandingkan dengan potensinya , jelaslah bahwa perikanan tangkap tidak sebagai produktivitas biologis. Alasan utama dari degradasi adalah overfishing.

TPI statistik hanya menunjukkan bagian ikan yang mati, ikan yang ditangkap dan dilepaskan dalam kegiatan pemancingan (biasanya yang dilepaskan mati) tidak pernah dihitung karena tidak masuk pasar, terlalu sedikit dan melampaui limit penangkapan atau ada yang memang dilarang oleg regulasi. Menurut perspektif dari produktivitas biologi, ini harus masuk hitungan mortalitas ikan. Intinya perikanan tangkap harus mengamati onboard vessels untuk mengukur dan memonitor ikan yang ditangkap dan dilepaskan dan menghitung hasil yang ditangkap sebagai bagian dari total penangkapan yang diperkenankan.

Produktifitas Ekonomi

Produktivitas ekonomi berhubungan dengan efisiensi perikanan (penerimaan dibandingkan dengan biaya). Efisien jika perbedaan penerimaan dan biaya besar. Penerimaan maksimal menunjukkan bahwa efisiensi perikanan tinggi. Biaya yang efektif diartikan dengan jumlah tangkapan tertentu diperoleh dari biaya yang sekecil-kecilnya.

Produktivitas ekonomi selalu berhubungan dengan kontribusi keuntungan-keuntungan ekonomi terhadap individu dan masyarakat. Tipenya bukan hanya pada ukuran keuntungan tetapi bagaimana pendistribusian keuntungan tersebut. Ingatlah bahwa harus dibedakan antara efisiensi individu dengan efisiensi secara luas. Produktivitas ekonomi selalu diukur oleh pengembalian investasi yang dibuat oleh bisnis perikanan. Untuk bisnis individu efisiensi adalah sesuatu dari mengkobinasikan seluruh bagian-bagian dari usaha perikanan (perahu, alat tangkap, dsb) yang bisa menghasilkan keuntungan setinggi-tingginya. Untuk perikanan secara luas, efisiensi adalah masalah yang lebih luas dimana keuntungan-keuntungan masyarakat umum adalah yang penting. Keuntun gan umum termasuk pekerjaan, kesejahteraan, pemasukan pajak, dan aktivitas-aktivitas ekonomiyang diciptakan oleh sektor perikanan tangkap. Ingatlah bahwa bisnis ini menggeneralisasikan keuntungan kepada publik, juga tidak membuat nilai tetapi mencipatakan biaya. Nilai dibatalkan jika ikan terbuang, dan ketika musim paceklik. Pentingnya keuntyungan publik dan biaya berubah-ubah tiap waktu, ini bergantung pada pasar, kecendrungan publik, pendekatan publik, pendekatan manajemen dan kondisi ekologi, serta produktivita ekonomi.

Produktivitas Sosial

Produktivitas sosial berhubungan dengan hal-hal obyektif. Seperti :

1. Meraih keadilan dalam distribusi pendapatan dan keragaman dari skala usaha perikanan

2. Kesempatan untuk rekreasi dan perikanan subsisten

3. Keberlanjutan komunitas pesisir

4. Pemeliharaan budaya

5. dan penyaluran pengetahuan

Produktivitas sosial digunakan pada perancangan sistem managemen desentralisasi regional serta untuk mendukung kualitas kehidupan( kesehatan fisik dan mental, ketiadaan penyakit sosial, apresiasi estetika, dan rekreasi).

Produktivitas sosial didasarkan pada produktivitas biologis dan ekonomi. Perlu diingat bahwa produktivitas ekonomi dan sosial tidak sama sehingga dapat menimbulkan konflik diantaranya. Contohnya efisiensi ekonomi seperti phk karyawan tidak berorientasi pada produktivitas sosial.

Permasalahannya adalah bagaimana mengukur produktivitas sosial? (ini karena sifat datanya yang kualitatif). Produktifitas sosial yang berkurang bisa diukur pada kondisi kemiskinan dan menunjukkan tanda-tanda ”social distress”.

Mengelola Produktivitas

Dibidang perikanan tidak hanya mengejar tujuan tunggal (komersial, rekreasi atau tujuan subsistensi dan artinya tidak ada keuntungan tunggal terbaik yang didapat dari sektor perikanan. Setiap keuntungan pasti ada implikasinya dan bisa menjadi masalah yang sangat kompleks. Kita ambil contoh pada Atlantic Billfish. Di Amerika AB secara eksklusif hanya untuk kegiatan pemancingan saja tidak untuk kom ersial. Oleh karena itu produktivitas biologisnya adalah mengurangi mortalitas dari AB dan kegiatan pemancibngan memang menyebabkan mortalitas AB menurun. Tetapi jika yang dilepas setelah dipancing tidak selamanya bisa hidup sebab rupanmya dia bisa tertangkap oleh alat tangkap ”longline gear” yang memang ditujukan untuk komersialisasi.

Harus diingat bahwa susah untuk menentukan keuntungan yang pasti diperoleh dan prioritasnya susah menentukan peluang kehilangan dan mendapatkan keuntungan dari pengelolaan sektor perikanan. Contohnya pada kasus ”The Gulf of Mexico Red Snapper Fishery”. Ikan dewasa ditangkap nelayan dengan menggunakan “gear type” yang bervariasi. Untuk memancing, nelayan menggunakan hook dan line. Juvenile fish biasa ditangkap oleh nelayan tetapi dilepaskan karena ada aturannya (biasa ikan yang dilepas mati). Ikan yang dilepas suka terjaring oleh shrimp trawl, sehingga mortalitasnya tinggi.

Susah juga menyeimbangkan produktivitas biologis ekonomi dan sosial pada bidang perikanan (contohnya apa yang terjadi pada nelayan di North Pacific Halibut, program adopsi kegiatan penangkapan perseorangan sukses secara biologis tetapi secara ekonomi dan sosial gagal). Begitu pula yang terjadi pada The Alaska Groudfish Fisheries dimana tidak selarasnya produktifitas biologi dan ekonomi. Populasi ikan tidak menurun karena nelayan diarahkan pada konservasi tetapi tidak cukup bagi produktivitas ekonomi nelayan. Manajemen selalu memberikan dampak terhadap produktivitas ketika sumberdaya ikan dialokasikan pada grup-grup nelayan (tradisional dan modern). Semua teknik manajemen perikanan menciptakan pemenang dan yang kalah, meskipun teknik pengelolaan tersebut atas dasar untuk konservasi. Misalnya saja pelarangan mendekati wilayah “Spawning” mrnyrbabkan nelayan mencari waktu dan wilayah lain untuk penangkapan, pelarangan mendekati wilayah “near shore” melarang akses untuk kegiatan memancing. Aturan tentang ukuran minimumikan membuat nelayan menjauhi wilayah ikan-ikan kecil . Open access menyebakan mrtalitas tinggi, serta konflik diantara nelayan. Langkah-langkah pengelolaan berdasarkan pasar “market based” seperti transfer quota secara individu diarahkan pada peningkatan produktifitas ekonomi dan biologi (seperti membagi resiko secara bersama).

Menjaga Produktifitas sepanjang Waktu

“Perikanan yang berkelanjutan artinya mengelola untuk masa depan sebaik saat ini tidak menjadi standar yang sulit untuk mencapainya jika keinginan politik “politikal Will” ada

(Jim Glade)

Ketika masyarakat berbicara tentang produktivitas, mereka pasti membicarakan tentang keberlanjutan, dan ide tentang keberlanjutan berhubungan dengan manusia terhadap ikan. , karena sistem perikanan termasuk manusia dan ikan yang saling bergantung padanya karena juga terdapat ketidakpastian terhadap masa depan, ide tentang keberlanjutan harus memasukkan pilihan untuk memelihara produktifitas populasi ikan dan habitatnya, sebaik manusia dan komunitas dimana istilah perikanan berkelanjutan diartikan orang kebanyakan sebagai pengelolaan perikanan pada level tertinggi dari produktifitas dari generasi ke generasi tanpa membuang atau merusak ekosistem. Pertanyaannya adalah :

1. Tinggi untuk siapa ?

2. Di dalam variabel sistem, mampukah produksi selalu tinggi?

Perbedaan ide tentang apa yang dimaksud dengan “cukup dan siapa yang mendapatakan apa” menjadi sumber dari pernyataan yang membuat kesulitan politis bagi para manajer.

Perikanan berkelanjutan harus dapat meliputi bisnis perikanan yang sehat secara ekonomi sebaik sehatnya stok ikan secara biologis. Beberapa hal menunjukkan bahwa memelihara populasi ikan pada level yang baik, bisnis dan masyarakat yang bergantung pada sektor ini selalu dipelihara. Tanpa keberlanjutan jangka panjang, beberapa keuntungan tidak mungkin diperoleh dan argumentasi tentang bagaimana mengalokasikan ikan menjadi tidak berarti.

Keseimbangan adalah kunci dari keberlanjutan untuk banyak-keseimbangan antara hari ini dan besok, menggunakan dan konservasi, biologi dan ekonomi, komunitas dan individu, berubah-ubah dan stabil. Ini sangat rumit karena keseimbangan yang tepat adalah berbeda untuk orang yang berbeda. Pengelola perikanan harus mengutamakan konservasi, kemudian memutuskan bagaimana untuk membagi ”the fish” diantara kompetitor tapi pengelola sering berlaku melampaui batas dengan mengizinkan alokasi kebutuhan-kebutuhan menentukan keputusan-keputusan konservasi. Kelemahan dari manajemen gagal untuk mengelola prioritas dari konservasi karena manajemen ”membilang/menghitung hanya pada ketertarikan jangka pendek dari konservasi yang saat ini aktif pada bidang perikanan, sebagai pengganti ”the general publick, saat ini dan di masa yang akan datang.

Mencapai keberlanjutan perikanan , banyak catatan, membutuhkan pertolongan pergantian alami dari perairan. Mengelola variabel lingkungan kelautan secara konsisten tidak menghasilkan. Bagian dari tugas penting pengelolaan perikanan adalah untuk menyeimbangkan antara tahun yang tinggi kelimpahan dan kelimpahan yang rendah pada perikanan – untuk mengelola pada level penggunaan yang memperbolehkan perikanan- untuk mengelola pada level penggunaan yang memperbolehkan perikanan dan komunitas nelayan untuk menyerap kelimpahan yang rendah sebaik kelimpahan yang tinggi. Untuk beberapa, keberlanjutan berarti mendukung segala sesuatu pada posisinya saat ini. Kekuatan untuk melindungi siapa saja dan menetap pada perikanan membuat dukungan perikanan pada level yang menguntungkan menjadi tidak mungkin.

Stakeholder selalu menunjukkan bahwa perikanan dapat berlanjut pada banyak level. Meskipun pada level yang paling rendah dari produktivita-sepanjang apa yang berpindah tidak melampaui stok apa yang dapat diproduksi. Meskipun juga banyak yang diamati, ini susah untuk difikirkan bahwa keberlanjutan perikanan pada level bawah. Pada level ini, perikanan dan ekonomi bisa saling mendukung , pendukung-pendukung/penyangga-penyangga bisa disediakan untuk melawan resiko dan ketidakpastian, Biodiversity dan kesehatan ekosistem bisa dikelola, dan pilihan tentang tipe-tipe daya guna bisa dimaksimalkan. Akan tetapi m,ereka akan selalu manfaatkan dari pilihan-pilihan yang dibuat antara daya guna yangbbersaing dari bidang perikanan. Pengurangan stok ikan di bawah level yang dapat memproduksi keuntungan maksimal artinya kehilangan dari beberapa pilihan untuk dipilih.

Mencari kelebihan stok ikan untuk keberlanjutan dari ekosistem adalah suatu ide yang kerap diakui, tetapi jarang diiplementasikan. Satu catatan penelitian, bahwa karena variabilitas ekosistem, kebutuhan-kebutuhan keberlanjutan perlu ditentukan oleh sehatnya ekosistem secara keseluruhan dari pada sehatnya spesies secara khusus-dengan pola-pola yang sehat dari variabilitas ekosistem. Perhatioan lainnya adalah meskipun pengelolaan ”single species” dapat diefektifkan untuk mengelola populasi dari tiap spesies. Sebagai contoh ” stripped bass” di Chesapeake Bay- perencanaan pengelolaan perikanan pada saat ini dimulai untuk mengambil beberapa faktor-faktor ekonomi untuk dihitung, seperti efek dari pemindahan pakan dari marine bird dan efek dari alat tangkap pada habitat.

Beberapa ide pengelolaan ekosistem meliputi pengaturan wilayan perlindungan. ”The 1993 report to congress the ecosistem Principles advisory Panel” merekomendasikan para ”fishery manager” untuk menyadari dan mengevaluasi keuntungan-keuntungan potensial dari Marine protected Area” untuk mempromosikan pengelolaan berdasarkan ekosistem. MPA bisa berubah dalam ukuran dan derajat dari pelarangan. Sebagai contoh, beberapa bisa melarang segala bentuk penangkapandan penggunaan non fishing; lainnya bisa melarang atau membatasi hanya pada komersial dan alat tangkap untuk tujuan rekreasi. Peraturan di beberapa wilayah MPA bisa tetap pada eke disepanjang tahun, sementara wilayah taman nasional lainnya bisa membatasi aktivitas hanya selama waktu-waktu tertentu. Contohnya pada saat ikan sedang bertelur.

Pertanyannya sekarang adalah bagaimana untuk menyeimbangkan keuntungan di wilayah MPA (Marine Protected Area) yang bertentangan dengan biaya-biaya. Tantangan pengelolaan perikanan adalah untuk memastikan penangkapan baik untuk komersial, rekreasi dan subsistensi- memperbolehkan keberlanjutan ekosistem untuk dikelola.

Didalam mengetahui hambatan dari pengelolaan skala ekosistem, beberapa stakeholder selalu berfikir bahwa jawaban untuk mengelola kesehatan ekosistem bisa ditentukan mana mereka telah ketahui dan mempraktekkannya. Kita bisa tidak membutuhkan untuk membangun kerumitan/kesulitan dan pendekatan informasi secara intensif kepada pengelola ekosistem. Alternatif yang lebih mudah mungkin adalah pendekatan yang lebih konservatif dari aturan-aturan untuk mengelola stok. Pengelolaan yang lebih baik mampu menjaga level ketersediaan stok lebih tinggi, membuat ikan lebih tersedia sebagai sumber makanan dan mamalia laut dan menjaga seluruh ekosistem agar lebih sehat.

Pengalaman yang lalu selama 20 tahun membuat jelas bahwa untuk mengelola perikanan secara berkelanjutan pada long run membutuhkan lebih banyak kehati-hatian pada short run. Sebagai hasilnya, lebih banyak keputusan-keputusan manajemen memasukkan pendekatan-pendekatan pencegahan. Pendekatan ini mengakui perubahan pada sistem perikanan adalah hanya dapat diputar balikkan secara lambat, susah untuk dikontrol, tidak bagus untuk dipahami, dan subjek untuk merubah lingkungan dan nilai-nilai kemanuasiaan. Dikatakan bahwa dimana dampak dari perikanan nampak tidak jelas, pengelolaan harus lebih konservatif dan tidak ”membunuh angsa yang menelurkan telur emas”. The MSFCMA, meskipun tidak eksplist menggunakan istilah pencegahan namun merefleksikan pendekatan. Pendekatan Melanjutkan definisi yang dimodifikasi dari keuntungan optimum, definisi dari overfishing dan persyaratan dari overfished stoks.

Dimasa lampau, kesehatan dari stok ikan sering dikorbankan untuk kepentingan ekonomi jangka pendek dan perhatian sosial (social concern). Mencari keseimbangan yang tepat antara biologis, ekonomi dan keuntungan-keuntungan sosial adalah suatu pertanyaan yang banyak pendapatnya. Apakah ekonomi jangka pendek dan pengorbanan-pengorbanan sosial adalah tepat untuk membangun kembali stok ikan untuk mengelola keuntungan jangka panjang? Ini adalah satu dari pertanyaan yang paling mengganggu terhadap pengelolaan perikanan.

Konservasi adalah suatu proses dari menyimpan dan investasi. Masyarakat berbeda di dalam kerelaan mereka dan kemampuan mereka untuk menyimpan dan investasi-dimana siapa yang memiliki ”cash flow” (aliran uang tunai) tidak akan adil membayar hutang yang ada adalah tidak seperti mengesampingkan simpanan dan investasi untuk pengembalian di masa datang (future return). Investasi di dalam konservasi perikanan tidak berbeda. Masyarakat seperti ingin menyimpan ikan untuk masa depan- investasi pada masa depan produktivitas perikanan- ketika perikanan sehat secara ekonomi, yang dijelaskan, setidaknya dalam bagian, peningkatan keberatan (tidak terima) melawan kekuatan investasi pada konservasi perikanan ketika perikanan dibawah tekanan.

Banyak orang yang kami wawancarai mengakui kesulitan dari menanyakan nelayan untuk mengorbankan pendapatan saat ini untuk keuntungan masa depan yang tidak pasti. Meskipun stakeholder yang menekankan kebutuhan untuk konservasi secara umum bersimpati tergadap kepedihan manusia, dan kesulitan ekonomi yang berhubungan dengan membangun kembali stok yang kosong. Membangun kembali stok sering menyediakan periode waktu yang lebih panjang dari pada banyaknya masyarakat yang akan mengalami kesulitandi dalam perikanan. Panjang periode waktu pembangunan kembali, transparansi penjualan antara kesakitan individu dengan keuntungan sosial menjadi - antara biaya pada generasi yang satu dengan keuntungan generasi yang lainnya. Permasalahannya adalah bahawa siapa yang membayar biaya dari pengurangan jumlah produksi tidak mengharapkan untuk menjadi salah satu orang yang menuai keuntungan.

Terkadang masyarakat di dalam perikanan membutuhkan untuk mengoperasikan di bawah lebih bersifat membatasi regulasi didalam respon untuk penurunan stok tidak disebabkan oleh penangkapan. Banyak perubahan kelimpahan stok sebagai hasil dari kejadian alam seperti El Nino atau siklus populasi. Suatu response bersama untuk situasi ini adalah untuk memprotes bahwa “kita tidak dapat menyebabkan kecendrungan ini untuk mundur/turun, oleh karenanya mengapa kita bisa memotong kembali?” tetapi hanya musim kering disebabkan oleh pola perubahan cuaca membutuhkan pembatasan terhadap penggunaan air, oleh karenanya fluktuasi alami pada stok ikan membutuhkan peningkatan pembatasan pada penangkapan ikan.

Banyak sekali contoh dari perikanan yang telah terselamatkan dari pandangan dangkal dari manajemen. Para ahli lingkungan mengutip contoh dari spiny dogfish di New England dan Mid Atlantic.” Kami menggiatkan pembangunan dari perikanan spiny dogfish Atlantic tanpa tinjauan ke masa depan dan tanpa perencanaan manajemen perikanan” (jawabnya menyesali). Kita semestinya belajar dari giatnya penangkapan yang tidak diinginkan seperti wabahu ....dogfish akan mengambil masa 10 tahun untuk pulih-perikanan mungkin akan menjadi punah. Jika kita telah mengelola perikanan dari awal, kita harus dapat menghindarkan meletakkan nelayan di luar bisnis. “sebagai anggota dari seluruh sektor yang dikenali, kehilangan peluang di masa depan sebagai suatu hasil dari kegagalan mengantisipasi dan mencegah wabah ikan.

Tetapi selalu ada contoh dari perikanan dimana, suatu ketika satu masalah dari short sightedness telah diobservasi, tindakan koreksi telah dilakukan. North Pacific Hallibut, dapat dibantah lebih produktif, sustainable.

Peluang Biologi yang hilang

Over fishing mengakibatkan beberapa kondisi antara lain :

  1. Menangkap ikan pada suatu ukuran yang jauh di bawah ukuran potensi maksimumnya.
  2. Tidak dilakukannya re-stoking pada daerah-daerah catchable area

Peluang Ekonomi yang hilang

Dapat juga diakibatkan oleh overfishing ekonomi secara alami. Overfishing ekonomi terjadi manakala perikanan telah dikembang;kan di luar titik tangkapan maksimum tetapi penyebab overfishing mendasar adalah overcapacity dimana jumlah kapal dan alat tangkap yang melebihi dari jumlah yang diperbolehkan.

Peluang Sosial yang hilang

Dampak dari peraturan perikanan misalnya dengan memberikan kuota dapat mengakibatkan menurunnya beban pekerjaan sehingga terjadi penurunan pendapatan. Dalam satu paragraph dijelaskan Manajemen dewan disalahkan oleh beberapa stakeholders karena lambat dalam memberikan pemahaman dan pendidikan ke publik tentang perikanan sebagai suatu ecosystem yang lebih luas.

Diadakan survey pada 3.500 nelayan hasilnya mengatakan 81 persen mereka sangat cemas dengan masa depan perikanan, 79 % dikatakan mereka tidak akan merekomendasikan perikanan sebagai masa depan mereka.

Kesimpulan

1. Stock sehat akan memelihara masyarakat sehat, economies sehat, dan perikanan sehat.

(Dick Schaefer, National Marine Fisheries Scienice)

2. Stakeholders harus memperhatikan konservasi dengan memperkuat manajemen perikanan

PENGKAJIAN DAERAH POTENSI IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares)

Muslim Tadjuddah

Abstract

The objectives of this study are to know the distribution both of sea surface temperature and clorophill-a their variation bassed spacial and temporal scales around Wakatobi waters Southeast Sulawesi, and to determine the location of thermal front and upwelling as an indicator of madidihang (Thunnus albacares) fishing ground. Fishing activity would be more efficient and effective when fishing ground was recognized well to fishing vessel leaved from fishing base. One of the method to determine fishing ground is to studying of fishing ground and its relation to phenomenon of oceanography.

The observation of oceanograpy parameter ( sea surface temperature and clorophill-a) using satellite NOAA-AVHRR data and Seastar-Seawifs data related to thermal front and upwelling formation phenomenon could be applied for determining fishing ground formation.

The mean of SST during east season was 26.03°C with clorophill-a concentration 1.64 mg/m³. While the mean of SST during east-west season 27.6°C with clorophill-a concentration was about 1.68 mg/m³. Thermal Front occured around Kapota reefs, Kaledupa reefs, Koromaha reefs and Koka reefs. Based on thermal front distribution the potential fishing ground of madidihang was located in the east of Wakatobi waters especially around Koromaha reefs and Koka reefs. Upwelling was found during west season season.

Key words : Fishing ground, Sea surface temperature, clorophill-a, madidihang

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penentuan daerah penangkapan ikan menggunakan metode analisis data inderaja dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit yang dihasilkan terhadap beberapa parameter fisika kimia dan biologi perairan. Hal yang dilakukan diantaranya adalah pengamatan suhu permukaan laut (SPL), pengangkatan massa air (up-welling) ataupun pertemuan dua massa air yang berbeda (sea front) dan perkiraan kandungan klorofil disuatu perairan. Hasil pengamatan tersebut dituangkan dalam bentuk peta kontur, sehingga dapat diperkirakan tingkat kesuburan suatu lokasi perairan atau kesesuaian kondisi perairan dengan habitat yang disenangi suatu gerombolan (schoaling) ikan berdasarkan koordinat lintang dan bujur. Selanjutnya armada penangkap ikan dapat bergerak ke lokasi tersebut untuk melakukan penangkapan ikan dengan cepat dan tepat.

Kabupaten Wakatobi merupakan daerah pemekaran dari kabupaten Buton Provinsi Sultra yang disyahkan dengan Undang- Undang R I No. 29 tahun 2003. Luas Kabupaten Wakatobi diperkirakan sekitar 16.890 Km² atau 1.689.000 ha dimana 95% dari wilayah ini merupakan perairan laut. Kabupaten Wakatobi Propinsi Sultra terletak antara 5°12' - 6°10 LS dan 123°20' - 124°39' BT.

Wilayah Kabupaten Wakatobi sendiri di sebelah utara dan timur berbatasan dengan Laut Banda, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores yang memiliki potensi perikanan yang cukup besar terutama untuk kelompok ikan pelagis besar (Cakalang dan Tuna). Menurut data PPT-LIPI,2002 : data produksi ikan tuna dan cakalang sebanyak 3 – 4 ton per hari.

Penentuan daerah penangkapan ikan selama ini di kabupaten Wakatobi dilakukan nelayan dengan menggunakan cara-cara tradisional. Seperti dengan hanya memperhatikan kondisi perairan misalnya dengan melihat adanya buih-buih di permukaan perairan,warna perairan yang lebih warna perairan yang lebih gelap dari perairan disekitarnya, adanya burung beterbangan yang menukik-nukik di sekitar perairan dan munculnya lumba-lumba di permukaan perairan. Kondisi ini diperparah lagi dengan kondisi perairan Kabupaten Wakatobi yang relatif luas (Luas wilayah Kabupaten Wakatobi 95% terdiri atas lautan)

Metode ini merupakan pengetahuan yang diperoleh secara turun-temurun. Kelemahan dari metoda ini tidak dapat mengantisipasi perubahan kondisi oseanografi dan meteorologi yang sangat berkaitan erat dengan perubahan daerah penangkapan ikan (fishing gound) itu sendiri yang berubah secara dinamis.

Sampai saat ini di kabupaten Wakatobi masih terdapat kendala untuk dapat mengoptimalkan operasi penangkapan ikan agar lebih efisien dan produktif. Adapun kendala yang dihadapi pertama, nelayan kesulitan mencari daerah penangkapan ikan yang disebabkan ketidaktahuan tentang faktor oseanografi yang berhubungan dengan kemunculan schooling ikan. Kedua, nelayan tidak dapat merencanakan operasi penangkapan ikan yang tepat yang disebabkan karena tidak dapat menduga musim penangkapan ikan akibatnya operasi penangkapan ikan akan berjalan tidak efektif, tidak efisien dan tidak ekonomis karena nelayan berangkat dari pangkalan bukan untuk menangkap ikan tetapi untuk mencari lokasi daerah penangkapan ikan. Dengan demikian, nelayan akan selalu berada dalam ketidakpastian tentang lokasi penangkapan dan akhirnya hasil tangkapan juga menjadi tidak pasti.

METODE PENELITIAN

1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di sekitar perairan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sultra pada posisi antara 5°12' - 6°10' LS dan 123°20' - 124°39' BT. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Mei.





Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

2 Alat dan Data

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

1 ) Perangkat komputer PC Core 2 Duo

2 ) Perangkat pengolah data satelit yaitu ER.MAPPER 6.0 untuk pengolah citra SPL dan kontur SPL dan Arc-View 3.3 untuk pengolahan pemetaan zona penangkapan ikan.

3 ) Peta perairan Kabupaten Wakatobi no. 317. (Sumber : Dishidros TNI-AL

tahun 2001, Skala : 1:200.000)untuk menentukan lokasi daerah penelitian

4 ) Kamera Foto, membuat dokumentasi selama penelitian

5 ) GPS (Garmin III Plus), untuk menentukan posisi daerah penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1 ) Data suhu permukaan laut pada musim timur dan musim peralihan timur-barat hasil pengukuran sensor AVHRR satelit NOAA yang bebas awan tahun 1999,2000, 2001, 2002 dan 2003

2 ) Data klorofil-a pada musim timur dan musim peralihan timur-barat hasil pengukuran sensor SeaWIFS satelit Seastar yang bebas awan tahun 2002 dan 2003

3 ) Data oseanografi

4 ) Data hasil tangkapan ikan madidihang tahun 1999, 2000, 2001 2002 dan 2003

3 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan metode survai sedangkan data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data In-situ dan data Ex-situ. Data In-situ terdiri dari data posisi daerah penangkapan, waktu penangkapan, ukuran kapal, jumlah kapal.Data ini diperoleh dari responden yaitu nelayan pancing tonda yang dominan menangkap ikan madidihang di sekitar perairan Kabupaten Wakatobi melalui pengisian kuisioner dan wawancara.

Data Ex-situ terdiri dari data satelit yaitu suhu permukaan laut (SPL) tahun 1999-2003 dan klorofil-a selama tahun 2002-2003 yang diterima dan diproses di Stasiun Bumi Satelit Lingkungan dan Cuaca (SBSLC) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) JL.Pekayon 70, Pasar Rebo,Jakarta Timur. Data oseanografi yaitu data pola arus diperoleh dari hasil studi Wyrtki (1961). Data hasil tangkapan ikan madidihang yaitu data selama lima tahun (data time series) diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di lokasi penelitian.

4 Metode Analisis Data

a. Analisis Suhu Permukaan Laut

Citra yang terpilih untuk diolah yaitu dengan pertimbangan citra tersebut bebas awan yang merupakan data bulanan selama lima tahun (1999-2003) sebanyak 26 citra. Citra SPL dikelompokkan berdasarkan variasi musiman, yaitu Musim Timur diwakili 13 citra, Musim Peralihan Timur-Barat diwakili 13 citra, (Tabel 1).

Tabel 1. Citra Suhu Permukaan Laut Terpilih

Pengolahan data citra suhu permukaan laut satelit NOAA-AVHRR menjadi kontur SPL terdiri dari 7 tahap sebagai berikut, yaitu tahap pemilihan citra bebas awan, tahap pemotongan citra (cropping), tahap perhitungan nilai spl, tahap klasifikasi SPL, tahap koreksi geometrik, tahap pembuatan kontur SPL, tahap penggabungan kontur SPL dengan hasil digitasi bentuk daratan

b. Analisis Klorofil-a

Data citra satelit SeaWifs merupakan data hasil download yang diperoleh pada homepage NASA: http://seawifs.gsfc.gov/cgibrs/seawifs subreg 12.pl. Berupa data global area coverage (GAC) dengan resolusi 4 km. Citra klorofil-a yang terpilih untuk didown load ialah data citra bulanan selama dua tahun (2002-2003) sebanyak 12 citra, sama halnya dengan citra suhu permukaan laut citra klorofil-a yang didown load merupakan citra yang bebas awan kemudian dikelompokkan berdasarkan variasi musiman. Pada citra Musim Timur diwakili 6 citra, Musim peralihan Timur-Barat diwakili 6 citra,

Tabel 2. Citra Klorofil-a Terpilih

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Profil Suhu Permukaan Laut

Pada musim timur rata-rata suhu permukaan laut sekitar 26.03°C. Suhu dominan merata pada sisi barat dan timur Kepulauan Wakatobi yang berkisar 22-23°C. Suhu hangat cenderung berada di sebelah barat Kepulauan Wakatobi dengan suhu berkisar antara 27-31°C. Suhu dingin lebih berkecenderungan berada di sebelah timur yang berkisar antara 23-25°C. Adapun profil atau penyebaran SPL secara mendetail pada musim timur disajikan dalam bentuk citra pada Lampiran .

Citra SPL tanggal 29 Juni 2000 terlihat lebih hangat dibanding citra SPL tanggal 3 Juni 1999, 29 Juni 2001, 7 Juni 2002 dan 11 Juni 2003. Suhu hangat nampak cenderung berada di sebelah barat perairan Kepulauan Wakatobi. Suhu dingin terlihat cenderung berada di sebelah timur. Penyebaran citra SPL tanggal 21 Juli 1999 dan 17 Juli 2003 memperlihatkan suhu lebih hangat dibanding citra SPL tanggal 14 Juli 2001 dan 4 Juli 2002. Suhu hangat terlihat masih berada di sisi barat Kepulauan Wakatobi sedangkan suhu dingin terlihat pada sisi timurnya.

Sebaran citra SPL pada tanggal 22 Agustus 2000 terlihat lebih hangat dibanding citra SPL tanggal 30 Agustus 1999, 10 Agustus 2001, 26 Agustus 2002 dan 13 Agustus 2003. Suhu hangat pada bulan Agustus terlihat cenderung tetap yaitu pada sisi barat seperti pada bulan Juni dan Juli selanjutnya suhu dingin terlihat pada sisi timur.

Pada Musim peralihan timur-barat suhu permukaan laut rata-rata sekitar 26.7°C. Suhu dominan berkisar 26-27°C cenderung berada pada sisi barat Kepulauan Wakatobi yang mana, suhu hangat berkisar antara suhu 28-32°C berada pada sisi timur P.Wangi-wangi dan utara P. Runduma. Suhu dingin berkisar antara 25-26°C terdapat di sekitar bagian timur Kepulauan Wakatobi. Pada bulan September citra SPL tanggal 28 September 2000 terlihat lebih panas dibanding citra tanggal 6 September 2001, 6 September 2002 dan 9 September 2003. Suhu hangat terlihat di sebagian kecil sisi barat perairan Kepulauan Wakatobi sedangkan suhu dingin mendominasi di sisi timur perairan Kepulauan Wakatobi.

Citra SPL tanggal 3 Oktober 2000 terlihat lebih panas dari citra SPL tanggal 16 Oktober 1999, 16 Oktober 2001, 10 Oktober 2002 dan 22 Oktober 2003. Suhu hangat terlihat pada bagian timur kepulauan Wakatobi, sebagian barat P.Tomia dan P.Binongko. Suhu dingin terlihat pada sisi timur namun cenderung berada di sekitar P.Runduma.

Citra SPL tanggal 7 November 2000 dan 8 November 2003 terlihat lebih panas dibanding citra tanggal 24 November 2001 dan 5 November 2002. Suhu hangat merata pada bagian barat dan timur perairan Kepulauan Wakatobi.

2. Pergerakan Sebaran Suhu Permukaan Laut

Pada musim timur pergerakan sebaran SPL, terdapat perbedaan. Kantung-kantung percampuran massa air hangat dan massa air dingin disebagian besar citra SPL musim peralihan barat-timur tidak terlihat lagi berganti dengan massa air dingin yang mulai mendominasi pada hampir seluruh citra pada musim timur ini. Hal ini diduga disebabkan pada wilayah perairan Kepulauan Wakatobi terjadi pengangkatan massa air dari lapisan yang dalam yang bersuhu rendah sampai di permukaan. Kondisi diatas didukung pendapat Boely et el (1990) menyatakan bahwa temperatur terendah di Laut Banda ditemui antara bulan Juni sampai September.

Dari keseluruhan citra sebaran SPL pada musim timur terlihat pola pergerakan SPL secara spasial di perairan Kepulauan Wakatobi bergerak dari timur ke barat dengan membawa massa air yang bersuhu dingin. Sesuai pendapat Schalk (1987) yang menyatakan bahwa massa air dingin dalam jumlah besar di Laut Banda itu akan bergeser ke arah barat mengikuti pergerakan arus permukaan pada musim timur dan terus menuju ke Laut Flores.

Pada musim peralihan timur-barat terlihat sebaran SPL di sebagian besar perairan Kepulauan Wakatobi memiliki suhu perairan yang lebih panas. Hal ini disebabkan pada musim peralihan ini arus permukaan lebih tenang sehingga pemanasan matahari lebih efektif untuk meningkatkan suhu permukaan perairan.

Dari citra SPL (Lampiran) pola pergerakan sebaran SPL pada musim peralihan timur-barat secara spasial terlihat dari sisi timur perairan Kepulauan Wakatobi ke sisi barat dengan pergerakan SPL cenderung dari suhu dingin ke suhu hangat. Hal ini disebabkan pada musim ini posisi matahari tepat berada di belahan bumi selatan (Equatorial) sehingga intensitas penyinaran lebih efektif. Menurut pendapat Weil yang diacu dalam Hutagalung (1988) bahwa suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari.

3. Profil Klorofil-a

Konsentrasi klorofil-a pada musim timur rata-rata 1.64 mg/m³. Pada musim ini konsentrasi klorofil-a dominan pada kisaran 1.0 mg/m³ terdapat pada bagian barat perairan Kepulauan Wakatobi. Konsentrasi klorifil-a tertinggi berkisar antara 0.3-3.0 mg/m³ terdapat dibagian barat dan timur Kepulauan Wakatobi. Konsentrasi klorifil-a terendah berkisar antara 0.2-2.5 mg/m³ terdapat di sekitar P. Runduma dan timur Kepulauan Wakatobi . Adapun penyebaran konsentrasi klorofil-a selengkapnya disajikan dalam Lampiran .

Konsentrasi klorofil-a pada musim timur tertinggi terdapat pada citra tanggal 26 Agustus 2002 dan tanggal 14 Agustus 2003 bila dibandingkan dengan citra tanggal 24 Juni 2003, 11 Juni 2003, 23 Juli 2002 dan citra tanggal 17 Juli 2003. Konsentrasi klorofil-a tertinggi pada musim ini terlihat di sebagian besar perairan Kepulauan Wakatobi yaitu pada sisi barat dan timurnya. Konsentrasi klorofil-a terendah hanya terdapat di sebagian kecil pada wilayah ini yaitu sekitar perairan P.Runduma.

Pada musim peralihan timur-barat rata-rata konsentrasi klorofil-a 1.68 mg/m³. Pada musim ini konsentrasi klorofil-a dominan pada kisaran 0.1-0.2 mg/m³ terdapat pada bagian timur perairan Kepulauan Wakatobi. Konsentrasi klorofil-a tertinggi berkisar antara 0.3-3.0 mg/m³ terdapat di bagian barat dan timur Kepulauan Wakatobi dan konsentrasi klorifil-a terendah berkisar 0.2-2.0 mg/m³ terdapat di bagian barat P.Kaledupa, P.Tomia , P.Binongko dan bagian selatan P.Runduma. Penyebaran klorofil-a selengkapnya disajikan dalam bentuk citra pada Lampiran .

Pada musim peralihan timur-barat konsentrasi klorofil-a terlihat lebih tinggi pada citra tanggal 6 September 2002, 9 September 2003, 10 Oktober 2002 dan citra tanggal 22 Oktober 2003 bila dibandingkan dengan citra klorofil-a tanggal 4 November 2002 dan citra tanggal 8 November 2002. Konsentrasi klorofil-a tertinggi ditemukan di sebagian besar daerah terumbu karang yaitu Karang Kapota dan Karang Kaledupa yang terletak di sebelah barat perairan Kepulauan Wakatobi. Konsentrasi klorofil-a terendah terlihat pada luasan kecil di sebelah timur perairan Kepulauan Wakatobi.

4. Pergerakan Klorofil-a

Pada musim timur terlihat wilayah perairan Kepulauan Wakatobi sangat subur (Lampiran). Konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada sisi barat dan timur, sedangkan pada musim peralihan barat-timur konsentrasi klorofil-a tertinggi hanya terlihat pada bagian barat. Kondisi ini diduga disebabkan di perairan Kepulauan Wakatobi terjadi Upwelling. Menurut Wyrtki (1961), berdasarkan sirkulasi massa air permukaan dan pola angin yang bertiup menunjukkan di Laut Banda memungkinkan untuk terjadinya penaikan massa air (Upwelling) pada musim timur (Juni-Agustus). Pergerakan konsentrasi klorofil-a tertinggi pada musim timur mencapai puncaknya pada bulan Agustus. Konsentrasi klorifil-a cukup tebal terutama pada sisi timur perairan Kepulauan Wakatobi. Hal ini sesuai dengan hasil studi Nontji (1975) yang menyimpulkan bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi terdapat di bagian timur Laut Banda. Konsentrasi klorofil-a memperlihatkan pola pergerakan yang sama dari bulan Juni sampai Agustus.

Konsentrasi klorofil-a pada musim peralihan timur-barat mengalami penurunan dibanding pada musim timur (Lampiran 9). Namun pada bulan September konsentrasi klorofil-a terlihat masih cukup tinggi tetapi tidak setebal pada bulan Agustus (musim timur). Vosjan and Nieuwland (1987) menyatakan di Laut Banda pada musim timur terdapat dua periode bloom plankton, pertama pada bulan Juni dan kedua di bulan Agustus-September. Pola pergerakan klorofil-a tertinggi terlihat tetap berada di sekitar Karang Kapota dan Karang Kaledupa (barat Kepulauan Wakatobi). Secara umum dari citra klorofil-a terlihat konsentrasi klorofil-a berangsur-angsur menurun pada bulan November.

5. Pendugaan Daerah Penangkapan Ikan

a. Thermal Front

Pada musim timur pergerakan sebaran SPL, terdapat perbedaan. Kantung-kantung percampuran massa air hangat dan massa air dingin disebagian besar citra SPL musim peralihan barat-timur tidak terlihat lagi berganti dengan massa air dingin yang mulai mendominasi pada hampir seluruh citra pada musim timur ini. Hal ini diduga disebabkan pada wilayah perairan Kepulauan Wakatobi terjadi pengangkatan massa air dari lapisan yang dalam yang bersuhu rendah sampai di permukaan. Kondisi diatas didukung pendapat Boely et el (1990) menyatakan bahwa temperatur terendah di Laut Banda ditemui antara bulan Juni sampai September.

Massa air bersuhu dingin ditemui pada sisi barat dan timur kepulauan Wakatobi. Pada citra tanggal 7 Juni 2002 dan 13 Agustus 2003 khususnya di sebagian kecil sisi barat Kepulauan Wakatobi terlihat jelas terbentuk kantung-kantung massa air hangat yang dikelilingi oleh massa air yang lebih dingin atau fenomena front suhu.

Dari keseluruhan citra sebaran SPL pada musim timur terlihat pola pergerakan SPL secara spasial di perairan Kepulauan Wakatobi bergerak dari timur ke barat dengan membawa massa air yang bersuhu dingin. Sesuai pendapat Schalk (1987) yang menyatakan bahwa massa air dingin dalam jumlah besar di Laut Banda itu akan bergeser ke arah barat mengikuti pergerakan arus permukaan pada musim timur dan terus menuju ke Laut Flores.

Pada musim peralihan timur-barat (Lampiran ) terlihat sebaran SPL di sebagian besar perairan Kepulauan Wakatobi memiliki suhu perairan yang lebih panas. Hal ini disebabkan pada musim peralihan ini arus permukaan lebih tenang sehingga pemanasan matahari lebih efektif untuk meningkatkan suhu permukaan perairan.

Pada musim peralihan timur-barat, dari sebagian besar citra SPL yang terlihat bukan lagi massa air dingin yang mendominasi perairan tetapi olakan-olakan massa air yang membentuk kantung-kantung massa air. Peristiwa ini nampak cukup intensif terutama pada bulan September dan Oktober

Dari analisis visual yang dilakukan (Lampiran) menunjukkan fenomena terbentuknya front di Kepulauan Wakatobi pada musim peralihan timur-barat. Front terbentuk dari kantung-kantung massa air dingin yang dikelilingi massa air yang lebih hangat dengan pola pergerakan relatif stabil berada di sekitar karang.

Hasil tangkapan madidihang pada tahun 1999 sampai 2003 menunjukkan trend yang cenderung menurun. Produksi hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar 11286 kg sedangkan produksi tangkapan terendah terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 5486 kg. Pada tahun 2003 produksi hasil tangkapan meningkat lagi sebesar 10500 kg.



Gambar 2 . Grafik produksi rerata tahunan hasil tangkapan madidihang di Kabupaten Wakatobi Tahun 1999 – 2003


Berdasarkan rata-rata bulanan hasil tangkapan madidihang dari tahun 1999 sampai tahun 2003 (Gambar 2) terlihat bahwa hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Juni sebesar 1500 kg dimana pada bulan ini merupakan awal musim timur. Hasil tangkapan terendah terjadi pada bulan November yaitu sebesar 215 kg dimana pada bulan ini merupakan akhir dari musim peralihan timur-barat.

Berdasarkan hasil ground check yang dilakukan (Lampiran) menunjukkan daerah penangkapan ikan madidihang masih berada dalam daerah ditemukannya front dan upwelling. Dari hasil ground check ditemukan pula terdapat daerah front dan upwelling tetapi di daerah tersebut sampai saat ini nelayan setempat belum melakukan penangkapan ikan. Daerah yang dimaksud terdapat di sekitar Karang Koromaha dan Karang Koka.

Gambar 15. Grafik rerata bulanan hasil tangkapan madidihang di Kabupaten Wakatobi Tahun 1999 – 2003

KESIMPULAN

1. Pada musim timur SPL berkisar 23-31°C dengan rata-rata 26.03°C. Pada musim peralihan timur-barat berkisar 25-31°C rata-rata SPL 27.6 °C

2. Suhu dingin yang terjadi pada bulan Juni cenderung bergerak dari arah timur ke arah barat Kepulauan Wakatobi sampai bulan Agustus.

3. pada musim timur klorofil-a berkisar 0.2-3.0 mg/m³ dengan rata-rata 1.64 mg/m³.Pada musim peralihan timur-barat berkisar 0.2-3.0 mg/m³ dengan rata-rata 1.68 mg/m³.

4. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi pada bulan Juni cenderung bergerak dari arah timur ke arah barat Kepulauan Wakatobi hingga pada bulan September.

5. Pada bulan Juni upwelling terjadi di sekitar Karang Kapota, Karang Kaledupa dan Karang Koka. Upwelling terjadi di sekitar P. Runduma, Karang Kapota, Karang Kaledupa pada bulan Juli dan Agustus. Upwelling terjadi di sekitar Karang Kapota, Karang Kaledupa dan P.Wangi-wangi pada bulan September

6. Berdasarkan hasil ground check yang dilakukan menunjukkan daerah penangkapan ikan madidihang berada dalam daerah ditemukannya front dan upwelling, ditemukan pula pada daerah front dan upwelling (karang koromaha dan karang koka) nelayan setempat belum melakukan aktifitas penangkapan ikan.

Lampiran

Gambar 1. Citra SPL Pada Musim Timur

Gambar 3. Citra Klorofil-a pada Musim Timur

Gambar 5. Sebaran front pada Musim Timur




Tgl 7 Juni 2002

DAFTAR PUSTAKA

Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.

[BPS] Biro Pusat Statistik Resort Wangi-wangi. Laporan Triwulanan Tahun 1999-2003. Mandati. hlm.1-25.

Blackburn M. 1965. Oceanography and The Ecology of Tunas. In H. Barnes (editor), Oceanography Marine Biology Ann. Rev. 3. George Allen and Unwin Ltd. London. p.299-322.

Harsanugraha WK dan Ety Parwati. 1996. Aplikasi Model-Model Estimasi Suhu Permukaan Laut Berdasarkan Data NOAA-AVHRR. Warta Inderaja Vol VIII. No.2 : P23-35.

.Hasyim B, Chandra E. Adi. 1999. Analisis Pola Distribusi Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan Ikan Cakalang di Perairan Utara Pulau Bali. Majalah LAPAN No.01Vol 01 p 1-8.

Hela I dan T. Laevastu. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News (Books) Ltd. London. hlm. 123.

Nasa, http://Seawifs.gsfc.nasagov/

Narain A. 1993. Remote Sensing and Fisheries Exploration : Case studies. In International Workshop on Aplication of Satelite Remote Sensing for Identifying and Foresting Potential Fishing Zone in Developing Counteries. Hyderabad, India. p. 1-24.

Pickard GL and WJ Emery. 1990. Descriptive Physical Oceanograpy An Introduction . Pergamon Press. 320 p

Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of The South East Asian Waters. Naga Report. Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La Jolla. California. 195 p.