BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia
mempunyai wilayah perairan sebesar 5,8 juta km2, yang terdiri dari 0,3 juta
km2 laut territorial, 2,8 juta km2 perairan nusantara dan 2,7 km² zona ekonomi
ekslusif. Sekitar 70% wilayah Indonesia berupa laut dengan jumlah pulau
lebih dari 17.480 dan garis pantai sepanjang 95.181km. Oleh karena itu
sumberdaya pantai dan laut yang dimiliki Indonesia sangat besar baik yang non
hayati seperti bahan tambang dan energi maupun hayati terutama ikan. Potensi
sumberdaya ikan laut diiperkirakan sebesar 6,26 juta ton/tahun yang terdiri
dari potensi wilayah perairan Indonesia sekitar 4,40 juta ton/tahun dan wilayah
ZEEI sekitar 1,86 juta ton/tahun2. Hasil pengkajian stok (stock
assessment) yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001,
potensi SDI di perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton pertahun,
dengan rincian 5,14 juta ton pertahun berasal dari perairan territorial dan
1,26 juta ton pertahun berasal dari ZEEI. Mengingat besarnya sumberdaya yang
ada maka pantai dan laut dapat dijadikan sumber pangan dan bahan baku industri.
1.2
Regulasi Sektor Perikanan Tangkap
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengeluarkan
empat paket kebijakan yakni: Pertama, membebaskan kapal perikanan di
bawah 60 GT dari biaya pungutan hasil perikanan dengan konsekuensi Pemerintah
kehilangan penerimaan negara bukan pajak Rp 5,8 miliar.
Kedua, guna menghemat pemakaian BBM. Pemerintah mengizinkan
beroperasinya kapal ikan secara berkelompok dalam satu manajemen usaha atau
koperasi. Pola itu harus didukung kapal khusus pengangkut hasil tangkapan ikan
dan penyuplai BBM di laut.
Ketiga, untuk meningkatkan
pruduktivitas hasil tangkapan, DKP memberikan izin lokasi penangkapan (fishing
ground) dari yang semula satu daerah menjadi dua daerah penangkapan dan
juga memberikan tambahan pelabuhan pendaratan dari maksimal tiga unit menjadi
paling banyak lima unit.
Keempat,
pendelegasian proses perizinan di tingkat provinsi untuk penerbitan Surat
Penangkapan Ikan (SPI) yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Paket kebijakan tersebut mulai diberlakukan tanggal 1 November 2005.
a. Analisis Kebijakan
Pertama, kebijakan ini kurang
kondusif karena yang paling terombang-ambing akibat kenaikan BBM ini adalah
nelayan menengah (10 - 30 GT) karena harga ikan tidak naik. Kapal di atas 60 GT sekalipun akan tetap sulit beroperasi karena komponen
biaya produksi yang relatif tinggi sehingga keuntungan dari hasil tangkapan
otomatis mengalami penurunan atau malahan merugi. Dengan demikian subsidi
tetap diperlukan pada sektor yang komponen BBM sangat dominan serta banyak
menyerap tenaga kerja dan penyedia protein bagi segenap lapisan
masyarakat. Kapal ukuran menengah 10 –
30 GT tidak melaut bukan hanya akibat kenaikan BBM lebih dari 100 %. Melainkan
kenaikan biaya operasional yang lain seperti bahan kebutuhan pokok selama
melaut yang mencapai 20-30% dan penyedian es balok
Sementara nasib nelayan tradisional, nelayan
kecil dan buruh perikanan yang beroperasi di daerah-daerah terpencil
(pulau-pulau kecil maupun daerah perbatasan), perlu juga mendapat perhatian.
Selain karena memang dari dulunya mereka miskin, juga mereka dipastikan akan
semakin sengsara akibat tingginya harga BBM yang kerapkali harganya jauh dari
harga yang ditetapkan pemerintah.
Kedua, kebijakan pendelegasian
perizinan di level provinsi yang semula dikeluarkan pemerintah pusat juga akan
berpotensi menimbulkan masalah baru. Kebijakan ini berpotensi akan dimanfaatkan
oleh pihak-pihak tertentu di daerah untuk mendapatkan keuntungan sesaat,
umpamanya melalui percaloan atau jual beli perizinan sehingga diperlukan
pengawasan yang sangat ketat. Akibatnya kebijakan ini hanya akan menambah beban
nelayan di daerah.
Ketiga, kebijakan ini belum
menyentuh problem industri pengolahan perikanan seperti pengalengan dan pembekuan.Sebelum
kenaikan BBM pun industri perikanan nasional banyak yang collaps akibat
kekurangan bahan baku. Usaha perikanan nasional hanya mampu menyuplai bahan
baku industri nasional sebesar 30 persen, sedangkan 70 persen diperoleh dari
impor.
Kenaikan harga BBM ini dipastikan berdampak
pada kalangan pengusaha pengolahan perikanan
untuk melakukan impor bahan baku dari berbagai negara seperti Cina.
Dengan demikian empat paket kebijakan insentif DKP perlu dilakukan berbagai
langkah penyempurnaan berdasarkan masukan dari para stakeholder guna memperbaiki kondisi perikanan yang sedang
dirundung duka.
1.3 Open Access (Free enty) dan Licenced Access(Limited
Enty)
Rejim open
acces diperkenalkan oleh Grotius tahun 1609 dengan tema adagiumnya “the
Freedoom of the Sea”. Rejim open access
ialah suatu rejim pemanfaatan sumberdaya laut dimana hampir tidak ada batasan
untuk melakukan akses terhadap sumberdaya perikanan di laut. Dalam konteks
hukum laut, adagium ini merupakan awal dari perdebatan konsep pengelolaan laut
antara penganut mazhab laut terbuka/bebas (mare
liberum) yang dipelopori oleh Grotius dan mazhab laut tertutup (mare clausum) yang di antaranya diiniasi
oleh sekelompok pemikir Inggris seperti Welwood dan Selden.
Menurut Charles (2001), paling tidak
ada dua makna dalam rejim open access
ini, yaitu : pertama, bahwa sumberdaya perikanan yang tidak tak terbatas ini dapat
diakses oleh hampir semua kapal yang tanpa batas (laissez-faire) yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya
dan masalah ekonomi. Kedua : adalah tidak adanya kontrol terhadap akses kapal
namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi
salah satu kontributor dari overkapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh
pemahaman rush for the fish; siapa
yang kuat dia yang menang.
1.2 Permasalahan
Indonesia, melalui penataan hukum
yang menyangkut kegiatan perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, memang
menyebut adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan. Namun
demikian, pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kapal sehingga
yang terjadi adalah quasi open access
atau open access dalam makna kedua
menurut Charles (2001) seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu,
lemahnya penegakan hukum di laut menjadi kontributor utama dari belum
berhasilnya rejim tata kelola (governance)
perikanan kita. Dalam konteks ini revitalisasi tata kelola (governance revitalization) menjadi salah
satu prasyarat utama sebagai bagian dari sebuah konsepsi negara kelautan
terbesar (ocean state) di dunia.
1.3 Solusi Permasalahan
Salah satu titik awal dari
revitalisasi tata kelola perikanan adalah secara gradual mengubah rejim quasi
open acces menjadi limited entry atau
paling tidak controlled-open acces. Rejim ini menitikberatkan pada pengelolaan
sumberdaya perikanan baik dari sisi input maupun output melalui mekanisme
pengaturan use rights. Tata
pemerintahan yang baik (good governance)
menjadi prasyarat dari penerapan rejim ini karena menyangkut mekanisme
pemberian ijin yang adil, transparan dan efisien. Charles (2001) memperingatkan
bahwa rejim pengelolaan limited entry tidak dapat digunakan secara sendirian,
namun harus dilakukan dalam skema management
portofolio dimana melibatkan tool lain seperti quantitative allocation of
inputs atau allowable catches yang dipayungi oleh sebuah kerangka peraturan (legal endorsment) yang sesuai. Konsepsi
limited entry ini akan semakin bermanfaat dalam konteks perikanan budidaya.
Tidak jarang kegiatan budidaya yang sudah established
harus kolaps karena tidak adanya kepastian hukum, ekonomi dan politik terhadap
unsur spasialnya. Konsepsi limited entry ini dapat pula menjadi titik awal bagi
pemberian hak yang jelas kepada nelayan perikanan pantai untuk melakukan
aktifitasnya melalui mekanisme fishing
right. Dalam konteks ini, pemberian hak penangkapan ikan (fishing right) harus mempertimbangkan
”kepada siapa hak tersebut diberikan”. Oleh karena itu, definisi nelayan perlu
pula direvitalisasi sehingga menghasilkan nelayan yang profesional bukan
sekedar free raiders yang menjadi
ciri utama pelaku perikanan dalam rejim open
access. ”Fit and proper test” terhadap nelayan tidak berorientasi hanya
kepada pertimbangan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah pertimbangan
komunitas sehingga menjamin keberlanjutan perikanan dari sisi komunitas seperti
yang telah diuraikan sebelumnya.
1.4 Harapan ke Depan : Optimalisasi Distant
Waters Fishing
Salah satu peluang pengembangan
perikanan yang dapat dijadikan benchmark
bagi revitalisasi perikanan nasional adalah pengembangan armada Distant Waters Fishing (DWF). Hal ini
sejalan dengan kecenderungan kebijakan perikanan global khususnya tentang regional fisheries management organization
yang mencakup perairan trans-nasional untuk komoditas perikanan yang ekonomis
penting dan bersifat trans-boundary
seperti tuna dan cakalang. Dengan menjadi anggota RFMO maka secara otomatis hak
penangkapan ikan akan diperoleh yang artinya membuka peluang bagi pengembangan
DWF. Strategi yang dapat dilakukan
adalah mendorong industri perikanan besar untuk terlibat aktif dalam kebijakan
DWF, dan membiarkan perikanan rakyat mendominasi perikanan domestik. Strategi
ini diperlukan agar optimasi kapasitas perikanan nasional dapat dicapai tanpa
harus memberikan biaya korbanan (oppportunity
costs) yang besar kepada persoalan konflik ruang dan sumberdaya.
Salam
MT
Salam
MT
merkur casino bonus code【WG】best online casino
BalasHapusmerkur casino bonus code,【WG98.vip】⚡,best online casino, online casino, free septcasino online slots no 온카지노 deposit bonuses,best online casino bonus 메리트카지노총판 codes,free spins no deposit